Oleh: Said Aqil Siroj
JAKARTA, KOMPAS - Sebuah buku bertajuk Deradikalisasi Nusantara kembali hadir di awal Januari 2016, buah karya Mayjen TNI Agus Surya Bakti yang kini menjabat Pangdam Wirabuana. Dari judulnya menyiratkan suatu gagasan besar pencegahan terorisme yang digayutkan dengan kearifan budaya Nusantara.
Tampaknya gagasan ini setakat dengan "Islam Nusantara" yang saat ini terus didengungkan dalam rangka mencegah radikalisme.
Tentu gagasan ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh membesar karena dipacu oleh kegelisahan tentang negeri tercinta ini yang belakangan terus didera oleh ancaman kekerasan dan terorisme. Benih radikalisme yang sudah kadung ditanam dan disebar oleh para idiolognya sudah menyemai serta memakan banyak korban. Tak gampang menghabisi virus yang sudah menjangkit. Perlu "rekam medis" dan "obat penawar" yang tepat guna menghalau sumber penyakit yang akan menggerogoti keindonesiaan kita.
Wabah kebiadaban
Ancaman aksi terorisme masih menjadi bayangan kelam di 2016. Kasus-kasus hilangnya beberapa orang dengan ragam profesi diduga terjerat jaringan radikalisme. Tiba-tiba kita dihebohkan oleh kehadiran kelompok Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) yang ditengaraisebagai "NII gaya baru".
Senyampang itu, mata dunia terus terbelalak dengan berbagai tindakan ngawur para teroris seperti polah biadab ISIS. Sungguh suatu perbuatan yang tak masuk akal yang mengusik tanya, ajaran apa yang membuat mereka ini bertindak sedemikian kacau. Cobalah kita baca, seorang pemuda di Suriah menembak mati ibu kandungnya di hadapan khalayak ramai lantaran ibunya melarangnya bergabung dengan ISIS.
Di negeri kita, "aroma" seperti itu sudah mulai tercium walaupun tidak sebiadab di Timur Tengah. Terjadinya "pecah kongsi" antara anak dan orangtuanyaakibat perbedaan pandang keagamaan. Atau menghilangnya beberapa orang yang terbuai rayuan kelompok radikal tanpa hirau dengan nasihat keluarganya lantaran keluarganya sudah dianggap "kafir".