JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah anggota Mahkamah Kehormatan Dewan sepakat bahwa Ketua DPR Setya Novanto tidak bisa lagi diberi sanksi ringan dalam perkara pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden.
Pendapat itu muncul karena Novanto sudah pernah dinyatakan melanggar kode etik kategori ringan dan mendapat sanksi teguran lisan karena kehadirannya di kampanye bakal calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Ketua MKD Surahman Hidayat mengatakan, jika Novanto terbukti bersalah dalam kasus kali ini, sanksi yang diberikan akan bersifat akumulatif.
Ketentuan akumulasi ini diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik, tepatnya pada Bab IV Pasal 19 ayat (3) huruf b.
Dalam aturan itu disebutkan, kriteria pelanggaran sedang adalah ketika seorang anggota DPR mengulangi perbuatannya yang telah dikenai sanksi ringan oleh MKD.
"Tentu saja memakai pendekatan akumulatif, ada salah, diakumulasikan," kata Surahman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/12/2015).
Wakil Ketua MKD Junimart Girsang mengatakan, jika terbukti bersalah, Novanto minimal mendapat sanksi kategori sedang, yakni pencopotan dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR.
Namun, bisa juga dia dikenakan sanksi berat, yakni skors tiga bulan atau diberhentikan dari keanggotaan DPR. "Tidak boleh dua kali pelanggaran ringan," ucap Junimart.
Anggota MKD, Supratman Andi Agtas, mengatakan, saat ini masih ada perbedaan tafsir terhadap frasa "mengulangi perbuatannya".
Sebagian menganggap frasa tersebut harus diartikan dengan melakukan tindakan yang persis sama. Namun, dia sendiri berpandangan, frasa itu bisa juga diartikan melakukan pelanggaran dalam bentuk apa pun meski tak sama persis dari yang sebelumnya.
"Jadi, kalau beliau dalam posisi dinyatakan bersalah, logikanya pasti tidak mungkin lagi sanksi ringan, pasti akumulasinya," ucap Supratman.
Anggota MKD lain, M Prakosa, juga menganggap aturan akumulasi bisa diterapkan meskipun menghadiri kampanye Donald Trump dan mencatut nama Presiden adalah dua hal yang berbeda.
"Analoginya seseorang yang pernah dapat kasus sanksi ringan, kemudian ada pelanggaran lagi di kasus ringan, itu menjadi tidak ringan walaupun konteksnya berbeda," ucap Prakosa.
MKD akan membacakan putusan kasus Novanto pada sidang hari ini.
Dalam kasus ini, Novanto diduga dibantu pengusaha minyak Riza Chalid saat meminta 20 persen saham Freeport kepada Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dengan mencatut nama Presiden Jokowi-JK.
Rekaman pertemuan 8 Juni 2015 yang diambil oleh Maroef itu sudah dijadikan alat bukti dan dua kali diperdengarkan dalam sidang MKD.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.