JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Agus Purwadianto, menilai hukuman kebiri masih bisa diberlakukan.
Namun, Agus menyebut sejumlah pembatasan. Salah satunya adalah dengan menggunakan suntik kimiawi, bukan dengan pengangkatan testis.
"Dari penelitian memang terbukti untuk mengurangi kecenderungan kekerasan dan penyimpangan seksual," ujar Agus di Gedung FH UI, Depok, Kamis (12/11/2015).
Agus menambahkan, pada faktanya, pelaku kejahatan seksual terbukti memang memiliki kadar androgen yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang bukan pelaku kejahatan seksual.
Hal tersebut menjadi salah satu dasar mengapa kebiri kimiawi dinilai lebih efektif.
Menurut Agus, kebiri kimiawi juga efektif dalam menurunkan angka kejahatan seksual berulang, walaupun pelaku memiliki faktor pendukung psikologis yang kuat.
Ia mencontohkan pemberlakuan kebiri kimiawi di Swedia. Pada 1960, kebiri kimiawi dilakukan kepada 900 orang pelaku kejahatan seksual di negara itu.
"80 persen kejadian kejahatan seksual berulang menurun hingga 2,3 persen," kata Agus.
Ia juga mencontohkan pemberlakuan kebiri kimiawi di Amerika terhadap 48 orang pria dengan perilaku seksual menyimpang.
Dengan pemberlakuan kebiri kimia satu tahun kepada 48 orang tersebut, pengaruh positif terlihat dari 40 orang.
Di antaranya adalah menurunnya perilaku penyimpangan seksual, penurunan fantasi seksual dan kemampuan mengontrol gairah seksual meningkat.
Meski begitu, Agus menuturkan, sejumlah efek samping jangka panjang mungkin terjadi kepada pelaku yang dikebiri secara kimiawi.
Risiko kesehatan yang mungkin terjadi, di antaranya osteoporosis, penyakit cardiovaskuler, gangguan metabolisme lemak dan glukosa, diabetes, infertilitas, depresi, anemia, kelelahan, dan penggumpalan darah.
"Efek sampingnya banyak, walaupun itu menahun. Artinya bisa kita atur jangkanya," tutur Agus.
Ia menilai hukuman kebiri kimiawi akan lebih efektif ketimbang hukuman penjara.
Selain menekankan penggunaan kebiri kimiawi, Agus juga mengatakan bahwa hukuman kebiri jika dilihat dari sisi medis masih dapat dilakukan.
Dengan catatan, jika ini merupakan bagian dari pengendalian komprehensif, serta menggunakan suntikan kimiawi berkala.
"Hukuman kebiri sebagai wujud kebijakan publik dari sisi medis masih dapat diberikan, dengan syarat yang amat limitatif (terbatas)," ujar Agus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.