Mereka seolah-olah menjadikan seleksi itu hanya sebagai sarana untuk melamar pekerjaan biasa.
"Setelah kami telusuri, calon hakim ini pernah melakukan seleksi untuk beberapa jabatan publik. Yang seperti ini ada 18 orang," ujar anggota Staf Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, dalam konferensi persnya di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Rabu (4/11/2015).
Wana mengungkapkan, penelusuran dilakukan dengan berbagai metode, mulai dari wawancara langsung, penelusuran di dunia maya, serta mewawancarai rekan kerja, saudara, hingga tetangganya.
Ada tiga indikator penting yang dinilai dalam penelusuran ini, yakni integritas, kompetensi, dan independensi. "Berdasarkan ketiganya, sebagian besar tidak laik untuk menjadi hakim Tipikor," ujar Wana.
Dari indikator kompetensi, banyak juga calon hakim yang tidak memenuhinya. Hal tersebut terbukti saat tim mewawancarai calon hakim itu secara langsung. Mereka tidak dapat menjawab seputar kejahatan tindak pidana korupsi dan mengenai terobosan yang akan dilakukan.
"Misalnya ketika ditanya jenis korupsi itu apa saja. Ada yang malah menyebut, korupsi di perbankan, korupsi di birokrasi. Padahal kan jenis-jenis tindak korupsi apa saja itu di UU Tipikor sudah jelas," ujar Wana.
Terakhir, soal independensi. Menurut penelusuran tim, tak sedikit calon hakim yang berafiliasi dengan partai politik. Selain itu, ada juga calon hakim yang memiliki relasi dengan hakim lain, baik dalam hubungan keluarga, rekan kerja, maupun pertemanan. (Baca: Koalisi Pemantau Peradilan: 7 Calon Hakim Tipikor Diduga Terkait Parpol)
Wana menyayangkan, calon-calon hakim itu bisa lolos hingga pada tahap ini. Koalisi pun mendesak MA menyeleksi calon hakim ini dengan hati-hati agar memunculkan sosok hakim yang ideal, terutama bagi pemberantasan tindak pidana korupsi.