JAKARTA, KOMPAS.com - Posisi pejabat publik diakui Wali Kota Bogor Bima Arya adalah posisi yang sulit. Apalagi, ketika lingkungan kerja di lingkaran pejabat itu yang terbilang sangat terbiasa untuk korupsi.
Hal ini yang dirasakan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut saat baru menjabat sebagai wali kota.
"Pada saat mau lebaran, staf saya datang membawa uang THR. Saya kemudian tanya untuk siapa THR itu. Saya dikasih daftarnya untuk A, B, C, D banyak sekali, panjang daftarnya. Totalnya Rp 800 juta," kata Bima saat berdiskusi di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Rabu (28/10/2015).
Bima pun menanyakan kepada stafnya sumber dana Rp 800 juta itu. Namun, stafnya tidak bisa menjawab dan berdalih bahwa pemberian uang tunjangan hari raya ke sejumlah pihak adalah hal yang lumrah dilakukan wali kota setiap tahunnya.
"Saya enggak mau. No," ucap Bima kepada stafnya ketika itu.
Setelah menolak memberikan THR, pria yang mengawali karir sebagai pengamat politik itu pun kemudian digoyang melalui berbagai aksi unjuk rasa hingga diejek di media massa atau sosial media.
"Saya baru merasakan sendiri, ternyata sistem pemerintahan selama ini dijaga dan distabilkan dengan politik haram. Birokrasi adalah rimba belantara yang sangat rumit," kata Bima.
Saat ditentang oleh banyak pihak, Bima pun disudutkan dan harus memilih antara menjaga stabilitas pembangunan dengan kompromi atau tidak kompromistis namun tinggal menunggu waktu untuk dimakzulkan.
Bima juga menemui aksi-aksi unjuk rasa yang dibayar hanya untuk memerasnya.
"Mahasiswa teriak lantang soal korupsi, datang ke rumah saya, minta uang. Katanya, 'Akang enggak usah ikut-ikutan, tapi cukup saja antar kita ke kepala dinas'. Saya bilang, 'Tergilas sekali kalian'. Saya baru tahu mahasiswa main begitu, tega sekali," kata dia.
Bima lalu menceramahi kelompok mahasiswa pendemo itu dengan cerita soal jejak rekam para seniornya yang menjadi demonstran bayaran. Menurut Bima, mahasiswa yang pernah menjadi demonstran bayaran nantinya hanya bisa paling tinggi menjadi anggota dewan dan kemudian bertindak layaknya broker.
"Saya usir dari rumah dinas, dia bilang akan oposisi Bima Arya seumur hidup. Kasihan banget oposisi seumur hidup," ujar Bima.
Namun, dari pengalamannya selama 1,5 tahun menjadi wali kota, yang paling menyakiti hati Bima rupanya saat ada seorang sahabatnya yang juga mencari uang dari mengangkat kasus di dinas-dinas Pemkot Bogor. Padahal, sahabatnya itu adalah seorang pengacara dan tokoh masyarakat.
"Ternyata sama juga, dia cari kasus-kasus di dinas ini itu, dibayar media untuk angkat, dia bayar mahasiswa untuk turun. Terakhir disiram, langsung 86 (diamankan). Saya kecewa luar biasa," tutur Bima.
Menurut dia, masuk dalam pusaran pemerintahan, harus siap mental. Untuk bisa menjaga diri dari perilaku koruptif, Bima mengaku lebih banyak mendekatkan diri pada keluarga dan sahabat-sahabat lamanya.
"Melawan korupsi yang berjamaah, tidak bisa sendirian, harus berjamaah juga. Kalau sendirian, bisa tersesat dan bahkan larut dalam pusaran korupsi itu sendiri," ungkap dia.
Selain itu, Bima juga mengajak lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Ombudsman untuk mengawasi birokrasi di Pemkot Bogor.
Para pegawai di lingkungan Pemkot Bogor pula diwajibkan untuk mengisi laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.