Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Versi 6 Fraksi: KPK Tak Usut Kasus Kerugian Negara di Bawah Rp 50 Miliar

Kompas.com - 07/10/2015, 07:23 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi diusulkan tak lagi menyelidik dan menyidik perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. Selain itu, KPK juga dilarang menangani perkara yang nilai kerugian negaranya di bawah Rp 50 miliar. (baca: Ini Kata Fraksi di DPR yang Usulkan Revisi UU KPK)

Hal itu terungkap pada Pasal 13 draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Draf itu diajukan enam fraksi saat rapat Badan Legislasi DPR, Selasa (6/10/2015) kemarin. Keenam fraksi yang mengusulkan perubahan itu adalah Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Nasdem, Fraksi PPP, Fraksi Hanura, Fraksi PKB dan Fraksi Golkar. (baca: Enam Fraksi di DPR Usulkan Masa Tugas KPK Hanya 12 Tahun)

Pada draf tersebut, KPK hanya berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang:

a). Melibatkan penyelenggara negara, dan orang lain yang yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b). Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah);
c). Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan penyidikan di mana ditemukan kerugian negara dengan nilai di bawah Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah), maka wajib menyerahkan tersangka kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Syarat tersebut lebih berat jika dibandingkan ketentuan yang ada saat ini. Pada Pasal 11 UU KPK disebutkan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan KPK, yaitu:

a). Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b). Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau b). Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

Selain itu, wewenang penyadapan yang dimiliki KPK akan dipersulit. Sebelumnya, pada Pasal 12 huruf a UU KPK disebutkan, KPK dapat "melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan". Namun, pada draf revisi, Pasal 14 menyatakan, KPK dapat "melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan dua alat bukti permulaan yang cukup dengan seizin dari Ketua Pengadilan Negeri". (baca: Enam Fraksi Ini Usul Pendidikan Antikorupsi Dihilangkan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com