Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Periksa Pelanggaran Serius, MK Dinilai Hanya Akan Jadi Mahkamah Kalkulator

Kompas.com - 30/09/2015, 18:45 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Setara Institute mengusulkan agar Mahkamah Konstitusi mengadopsi kembali kewenangan memeriksa pelanggaran serius yang terstruktur, sistematis, dan masif terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Kewenangan tersebut sudah hilang setelah MK memutuskan bahwa perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah bukanlah kewenangan limitatif MK.

Keputusan ini diambil sebagai buntut dari kasus korupsi penanganan sengketa pilkada yang menjerat Akil Mochtar ketika menjadi Ketua MK.

"Mahkamah Konstitusi harus mengadopsi kembali kewenangan memeriksa pelanggaran serius sesuai konsep TSM (terstruktur, sistematis, dan masif. Hal ini bisa dilakukan dengan mengubah Peraturan Mahkamah Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota," kata Direktur Riset Setara Institut Ismail Hasani dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (30/9/2015).

Kini, MK hanya akan mengadili sengketa terkait dengan selisih suara hasil perhitungan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Menurut Setara, kewenangan MK yang terbatas mengadili sengketa terkait selisih suara tersebut hanya akan menjadikan MK layaknya mahkamah kalkulator.

"MK akan fokus jadi mahkamah kalkulator karena tegas hanya mengadili sengketa, tidak periksa potensi kecurangan yang terjadi walau berdampak pada hasil pilkada. Ini kemunduran dalam pemilihan kepala daerah, padahal MK bertugas memastikan demokrasi berjalan sesuai konstitusi," ucap Ismail.

Proses pengadilan sengketa pilkada, kata Ismail, nantinya hanya sekadar basa-basi jika tidak menelisik kemungkinan adanya kecurangan di balik kemenangan calon tersebut. "Dulu kerbau dibawa ke MK karena dijadikan suap. Jangan dibayangkan ada pemilihan ulang besok, atau jangan bayangkan orang bisa menang lebih karena MK tidak lihat bukti kecurangan itu," sambung dia.

Di samping itu, Setara mengkritisi persoalan ambang batas selisih suara sebagai syarat pengajuan gugatan ke MK. Berdasarkan undang-undang, pasangan calon dalam pilkada boleh mengajukan gugatan ke MK jika selisih perolehan suara dengan pasangan lawannya berkisar pada angka 0,5 persen hingga 2 persen. Namun, jika selisih perolehan suaranya lebih dari itu, gugatan tersebut patut ditolak.

Menurut Ismail, ambang batas perolehan suara yang tipis tersebut mengesankan bahwa pembentuk undang-undang menganggap penyelenggara pilkada pasti bekerja optimal sehingga minim kekurangan.

"Ketentuan itu tidak masuk akal, penyelenggara pemilu dianggap seperti malaikat yang margin error-nya 0,5 hingga 2 persen" ucap Ismail.

Ia juga menilai bahwa aturan ini membuka peluang bagi petahana atau keluarga petahana untuk melakukan kecurangan dengan menaikkan selisih perolehan suara sewhingga lebih dari 2 persen. Di lain pihak, aturan ini dinilai mampu mengurangi jumlah perkara yang masuk ke MK sehingga beban sembilan hakim MK pun berkurang.

"Karena jarang sekali perolehan suara memiliki selisih yang sangat tipis sebagaimana ditentukan dalam peraturan di atas," kata Ismail.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

GASPOL! Hari Ini: Eks Ajudan Prabowo Siap Tempur di Jawa Tengah

GASPOL! Hari Ini: Eks Ajudan Prabowo Siap Tempur di Jawa Tengah

Nasional
Mengintip Kecanggihan Kapal Perang Perancis FREMM Bretagne D655 yang Bersandar di Jakarta

Mengintip Kecanggihan Kapal Perang Perancis FREMM Bretagne D655 yang Bersandar di Jakarta

Nasional
Selain Rakernas, PDI-P Buka Kemungkinan Tetapkan Sikap Politik terhadap Pemerintah Saat Kongres Partai

Selain Rakernas, PDI-P Buka Kemungkinan Tetapkan Sikap Politik terhadap Pemerintah Saat Kongres Partai

Nasional
Korban Dugaan Asusila Sempat Konfrontasi Ketua KPU saat Sidang DKPP

Korban Dugaan Asusila Sempat Konfrontasi Ketua KPU saat Sidang DKPP

Nasional
Covid-19 di Singapura Naik, Imunitas Warga RI Diyakini Kuat

Covid-19 di Singapura Naik, Imunitas Warga RI Diyakini Kuat

Nasional
WWF 2024 Jadi Komitmen dan Aksi Nyata Pertamina Kelola Keberlangsungan Air

WWF 2024 Jadi Komitmen dan Aksi Nyata Pertamina Kelola Keberlangsungan Air

Nasional
Menhub Targetkan Bandara VVIP IKN Beroperasi 1 Agustus 2024

Menhub Targetkan Bandara VVIP IKN Beroperasi 1 Agustus 2024

Nasional
Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Sempat Ditangani Psikolog saat Sidang

Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Sempat Ditangani Psikolog saat Sidang

Nasional
Polri: Kepolisian Thailand Akan Proses TPPU Istri Fredy Pratama

Polri: Kepolisian Thailand Akan Proses TPPU Istri Fredy Pratama

Nasional
Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Nasional
KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

Nasional
Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Nasional
Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Nasional
DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com