"Perlindungan yang dirancang secara berlebihan tersebut telah melanggar prinsip non-diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum," ujar Supriyadi, melalui keterangan tertulis, Selasa (22/9/2015).
Sebelumnya, Hakim Konstitusi memutuskan penegak hukum jika ingin memeriksa anggota DPR harus mendapat izin Presiden. Dengan demikian, tak berlaku lagi aturan yang menyebut bahwa pemberian izin memeriksa anggota DPR berasal dari MKD. Tidak hanya anggota DPR, MK dalam putusannya juga memberlakukan hal yang sama terhadap anggota MPR dan DPD.
Menurut Supriyadi, dalam hal ini MK telah menggunakan dasar jabatan sebagai pembeda perlakuan bagi seseorang dalam menjalani proses hukum. Anggota Dewan seolah-olah memiliki perlakuan khusus dibanding jabatan lain. Padahal, terlepas jabatannya, anggota Dewan adalah warga negara yang harus bertanggung jawab di depan hukum.
Supriyadi, yang merupakan pemohon, mengajukan uji materi Pasal 245 Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Intinya, ia menilai pasal ini memberikan perlindungan yang berlebihan dan tidak berdasarkan atas alasan hukum yang jelas, sehingga berpotensi mengintervensi independensi penegak hukum.
Sebelumnya, Pasal 245 UU MD3 mengatur bahwa penegak hukum harus meminta izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebelum memeriksa anggota Dewan. Namun, dalam putusannya, MK tak menganulir ketentuan tersebut, tetapi mengubah pejabat pemberi izin, dari MKD menjadi Presiden.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.