Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titiek Soeharto: Tidak Ada Penyelewengan Beasiswa Supersemar

Kompas.com - 14/08/2015, 20:19 WIB
Indra Akuntono

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, putri mantan Presiden RI, Soeharto, membantah bahwa Yayasan Supersemar disebut melakukan penyelewengan dana beasiswa. Justru sebaliknya, Titiek merasa Presiden Soeharto banyak memberikan bantuan dana kepada yayasan dalam menjalankan program.

"Tuntutan itu kepada Yayasan Supersemar, dan kami menyatakan bahwa tidak ada penyalahgunaan dana negara oleh Yayasan Supersemar," kata Titiek di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2015).

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI itu menuturkan, Yayasan Supersemar menjalankan program beasiswa dengan merujuk pada Peraturan Presiden Tahun 1976 yang diikuti dengan peraturan menteri keuangan saat itu. Peraturan menteri tersebut, kata Titiek, mengatur tentang kewajiban bank pemerintah untuk memberikan lima persen keuntungannya kepada Yayasan Supersemar untuk dialokasikan pada program beasiswa pendidikan.

Perpres tersebut kemudian dicabut pada era reformasi. Titiek menyebut Yayasan Supersemar hanya menerima Rp 309 miliar dari laba bank pemerintah dan sumbangan konglomerat. Adapun anggaran yang dikeluarkan Yayasan Supersemar untuk beasiswa pendidikan mencapai Rp 504 miliar.

"Jadi, enggak ada penyalahgunaan dana pemerintah, itu dana yayasan. Uang yang diterima yayasan jauh lebih kecil dari yang kami keluarkan," ucap Titiek, yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar.

Ganti rugi Rp 4,389 triliun

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Kejaksaan Agung dalam perkara penyelewengan dana beasiswa Supersemar dengan tergugat mantan Presiden RI, Soeharto, dan Yayasan Supersemar. MA memperbaiki kesalahan ketik yang terdapat dalam salinan putusan kasasi.

Seperti dikutip harian Kompas, Selasa (11/8/2015), Soeharto dan Yayasan Supersemar harus membayar 315 juta dollar Amerika Serikat dan Rp 139,2 miliar kepada negara. Apabila 1 dollar AS sama dengan Rp 13.500, maka uang yang dibayarkan mencapai Rp 4,25 triliun ditambah Rp 139,2 miliar atau semuanya Rp 4,389 triliun. (Baca: MA Perbaiki Salah Ketik, Ahli Waris Soeharto Harus Bayar Rp 4,389 Triliun)

Situs resmi MA mencantumkan, majelis PK yang terdiri dari Suwardi (ketua majelis), Soltoni Mohdally, dan Mahdi Soroinda mengabulkan PK yang diajukan Negara RI dalam hal ini Presiden RI melawan mantan Presiden RI, Soeharto, dan ahli warisnya. Majelis yang sama menolak PK yang diajukan Yayasan Supersemar. Perkara yang diregistrasi dengan Nomor 140 PK/PDT/2015 tersebut dijatuhkan pada 8 Juli.

Pada 2010, MA memutuskan, Soeharto (tergugat I) dan Yayasan Supersemar (tergugat II) bersalah melakukan perbuatan melawan hukum. Majelis kasasi yang dipimpin Harifin A Tumpa dengan hakim anggota Rehngena Purba dan Dirwoto memutuskan bahwa mereka harus membayar kembali kepada negara sebesar 315 juta dollar AS (75 persen dari 420 juta dollar AS) dan Rp 139,2 miliar (75 persen dari Rp 185,918 miliar).

Persoalan muncul ketika kesalahan terjadi dalam pengetikan putusan. MA tidak menuliskan Rp 139,2 miliar, tetapi Rp 139,2 juta alias kurang tiga angka nol.

Kasus ini bermula ketika pemerintah menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar atas dugaan penyelewengan dana beasiswa. Dana yang seharusnya disalurkan kepada siswa dan mahasiswa itu justru diberikan kepada beberapa perusahaan, di antaranya PT Bank Duta 420 juta dollar AS, PT Sempati Air Rp 13,173 miliar, serta PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti Rp 150 miliar.

Negara mengajukan ganti rugi materiil 420 juta dollar AS dan Rp 185 miliar serta ganti rugi imateriil Rp 10 triliun.

Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus Yayasan Supersemar bersalah menyelewengkan dana. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Jaksa yang belum puas kemudian mengajukan kasasi.

Juru Bicara MA, Suhadi, mengatakan bahwa tergugat dalam kasus penyelewengan dana beasiswa Supersemar adalah mantan Presiden RI, Soeharto, dan Yayasan Beasiswa Supersemar. Dengan demikian, yang dihukum dalam kasus ini adalah Yayasan Supersemar. (Baca: Jubir MA Sebut Ganti Rugi Rp 4,389 Triliun oleh Yayasan Supersemar)

Menurut Suhadi, ahli waris tidak termasuk sebagai tergugat sehingga tidak dikenai putusan. Meski demikian, salinan putusan resmi akan lebih menjelaskan mengenai siapa yang dikenai sanksi ganti rugi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Anies Belum Daftar ke PKB untuk Diusung dalam Pilkada DKI 2024

Anies Belum Daftar ke PKB untuk Diusung dalam Pilkada DKI 2024

Nasional
PAN Persoalkan Selisih 2 Suara Tapi Minta PSU di 5 TPS, Hakim MK: Mungkin Enggak Setengah Suara?

PAN Persoalkan Selisih 2 Suara Tapi Minta PSU di 5 TPS, Hakim MK: Mungkin Enggak Setengah Suara?

Nasional
Kuasa Hukum KPU Belum Paham Isi Gugatan PDI-P di PTUN

Kuasa Hukum KPU Belum Paham Isi Gugatan PDI-P di PTUN

Nasional
KPK Sita Pabrik Kelapa Sawit Bupati Nonaktif Labuhan Batu, Nilainya Rp 15 M

KPK Sita Pabrik Kelapa Sawit Bupati Nonaktif Labuhan Batu, Nilainya Rp 15 M

Nasional
Sidang Praperadilan Tersangka TPPU Panji Gumilang Berlanjut Pekan Depan, Vonis Dibacakan 14 Mei

Sidang Praperadilan Tersangka TPPU Panji Gumilang Berlanjut Pekan Depan, Vonis Dibacakan 14 Mei

Nasional
Hukuman Yusrizki Muliawan di Kasus Korupsi BTS 4G Diperberat Jadi 4 Tahun Penjara

Hukuman Yusrizki Muliawan di Kasus Korupsi BTS 4G Diperberat Jadi 4 Tahun Penjara

Nasional
Airin dan Ahmed Zaki Dekati PKB untuk Pilkada 2024

Airin dan Ahmed Zaki Dekati PKB untuk Pilkada 2024

Nasional
Anggota DPR Diduga Terima THR dari Kementan, KPK: Bisa Suap, Bisa Gratifikasi

Anggota DPR Diduga Terima THR dari Kementan, KPK: Bisa Suap, Bisa Gratifikasi

Nasional
Mendagri Serahkan Data Pemilih Potensial Pilkada 2024, Jumlahnya 207,1 Juta

Mendagri Serahkan Data Pemilih Potensial Pilkada 2024, Jumlahnya 207,1 Juta

Nasional
Hardiknas 2024, Fahira Idris: Perlu Lompatan Peningkatan Kualitas Pengajaran hingga Pemerataan Akses Pendidikan

Hardiknas 2024, Fahira Idris: Perlu Lompatan Peningkatan Kualitas Pengajaran hingga Pemerataan Akses Pendidikan

Nasional
Sadar PTUN Tak Bisa Batalkan Putusan MK, PDI-P: Tapi MPR Punya Sikap untuk Tidak Melantik Prabowo

Sadar PTUN Tak Bisa Batalkan Putusan MK, PDI-P: Tapi MPR Punya Sikap untuk Tidak Melantik Prabowo

Nasional
Surya Paloh Sungkan Minta Jatah Menteri meski Bersahabat dengan Prabowo

Surya Paloh Sungkan Minta Jatah Menteri meski Bersahabat dengan Prabowo

Nasional
Anies Respons Soal Ditawari Jadi Menteri di Kabinet Prabowo atau Tidak

Anies Respons Soal Ditawari Jadi Menteri di Kabinet Prabowo atau Tidak

Nasional
Ajukan Praperadilan Kasus TPPU, Panji Gumilang Minta Rekening dan Asetnya Dikembalikan

Ajukan Praperadilan Kasus TPPU, Panji Gumilang Minta Rekening dan Asetnya Dikembalikan

Nasional
KPU Bantah Tak Serius Ikuti Sidang Sengketa Pileg Usai Disentil Hakim MK: Agenda Kami Padat...

KPU Bantah Tak Serius Ikuti Sidang Sengketa Pileg Usai Disentil Hakim MK: Agenda Kami Padat...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com