JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi, Abdullah Hehamahua, mengatakan bahwa penyadapan yang dilakukan KPK efektif untuk memberantas praktik korupsi. Ia membantah jika upaya penyadapan itu dianggap melanggar hak asasi manusia.
"Orang mengatakan penyadapan KPK melanggar HAM, tetapi saya tidak melihat hal itu," kata Abdullah saat diskusi bertajuk "Revisi UU KPK" di Kompleks Parlemen, Selasa (7/7/2015).
Ia menjelaskan, KPK memiliki prosedur operasi standar yang jelas ketika melakukan penyadapan. Penyadapan pun akan dilaksanakan ketika KPK telah menemukan adanya indikator pelanggaran kejahatan yang dilakukan seseorang.
"Selain itu, penyadapan yang dilakukan KPK itu berbiaya mahal. KPK diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan melaporkan setiap tindakannya kepada Komisi III sehingga tidak bisa dengan mudah melakukan penyadapan itu," ujarnya.
Ia menyesalkan upaya pihak-pihak, khususnya DPR yang ingin melemahkan KPK dengan mengusulkan revisi atas UU KPK. Menurut dia, jika wewenang penyadapan milik KPK direvisi, maka tidak ada bedanya wewenang lembaga anti-korupsi itu dengan lembaga penegak hukum lain, sekalipun UU KPK bersifat lex specialis.
"Tanpa penyadapan, apa hebatnya KPK mendatang?" ujarnya. (Baca: Jika Kewenangan Penyadapan Dibatasi, KPK Tidak Bisa Operasi Tangkap Tangan)
Ada lima peninjauan dalam rencana revisi UU KPK. Yang menjadi sorotan publik adalah poin yang terkait dengan pengetatan kewenangan penyadapan, dibentuknya dewan pengawas KPK, dan pengaturan kembali dalam hal pengambilan keputusan yang kolektif kolegial.
Rencana revisi UU itu sendiri hingga saat ini telah masuk ke dalam daftar panjang program legislasi nasional 2015-2019 di DPR RI. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mendorong pembahasan revisi UU KPK dilaksanakan pada 2015.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.