Badrodin mengakui, konflik dua lembaga penegak hukum ini lebih berat jika dibandingkan yang pernah terjadi sebelumnya.
"Ya memang, dari KPK-Polri jilid I sampai yang sekarang, ini memang yang paling berat. Karena kepentingan politik sudah masuk dari mana-mana," ujar Badrodin, saat ditemui wartawan di kediaman dinasnya, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (19/2/2015) kemarin.
Akan tetapi, kata Badrodin, ia terbiasa berjalan di lorong yang gelap dan hanya ditemani satu lilin. Ia mengisahkan, kariernya menjadi polisi selalu diwarnai dengan menghadapi masa-masa sulit.
Konflik Poso
Badrodin, yang pernah meraih penghargaan Adi Makayasa itu, mengungkapkan, perjalanan yang dilaluinya saat menjabat sebagai Kapolda Sulawesi Tengah tahun 2006, menggantikan Oegroseno.
Saat itu, papar Barodin, ia dihadapkan pada tantangan untuk menyelesaikan konflik Poso antara dua kelompok yang berbeda pandangan. Salah satu kelompok menginginkan Fabianus Tibo dieksekusi mati. Sementara, kelompok lainnya mendesak hal yang sebaliknya.
"Dari sepanjang karier saya, itu yang paling berat bagi saya," ujar Badrodin.
Namun, ia memilih untuk mengambil risiko dan berpegangan pada penegakan hukum. Dia pun memerintahkan Fabianus Tibo cs dieksekusi mati. Dengan keputusan itu, kelompok yang kontra menghancurkan bangunan Polsek di salah satu sudut kota. Saat meninjau Polsek tersebut, kata Badrodin, masyarakat melemparinya dengan batu. Namun, kondisi itu tak menciutkan nyali Badrodin, yang mengawali karier polisi sebagai Komandan Pleton di Sabhara Polda Metro Jaya itu.
Badrodin melanjutkan, ia berkali-kali datang ke lokasi memerintahkan memperbaiki bangunan Polsek sekaligus melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat. Belum selesai persoalan, Badrodin kembali dihadapkan pada situasi yang kembali panas antara dua kelompok. Salah satu pendeta ditemukan tewas setelah ditembak oleh orang tak dikenal. Badrodin langsung menuju ke rumah sakit tempat korban disemayamkan. Namun lagi-lagi penolakan terjadi. Masyarakat menghujatnya, meludahinya sampai melemparinya dengan batu.
"Tapi saya katakan kepada mereka, saya yang bertanggung jawab penuh atas kejadian itu. Setelah kita menindak teroris di sana, baru itu masyarakat melihat bahwa, oh, ternyata polisi menegakkan hukum, benar. Itu memang terus kita lakukan sampai masyarakat di sana merasa aman," ujar Badrodin.
Menangkap Habib Rizieq dan Munarman
Tahun 2008, Badrodin menjabat sebagai Direktur I Kamtansas Bareskrim Polri. Pada suatu hari menjelang siang, ia mendapatkan kabar bahwa Front Pembela Islam (FPI) menyerang pengunjuk rasa dari Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di pelataran Monumen Nasional Jakarta. Namun, saat itu, ia mengaku tak sabar karena Kapolda Metro Jaya Irjen Adang Firman seperti ragu mengambil tindakan.
"Saya lalu menghadap ke Beliau. Saya bilang, pokoknya Bapak putuskan saja mau ditindak atau enggak. Kalau iya (ditindak), nanti teknis di lapangan biar urusan saya, saya yang atur," ujar Badrodin.
Akhirnya, Kapolda Metro Jaya setuju Badrodin mengambil tindakan tegas. Dia pun meminta izin untuk memobilisasi 400 personel Brimob dan 200 personel Reserse Kriminal untuk menangkap satu persatu pelaku kerusuhan tersebut. Ketegasan Badrodin berbuah positif. Dia menangkap puluhan anggota FPI, menggeledah markasnya hingga menangkap pimpinan FPI Habib Rizieq dan Panglimanya, Munarman.