Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dokter Umum Gugat UU Pendidikan Kedokteran ke MK

Kompas.com - 18/11/2014, 18:50 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com- Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia menggugat sejumlah pasal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang mengatur uji kompetensi, sertifikasi kompetensi, dan dokter layanan primer ke Mahkamah Konstitusi.

Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Pusat PDUI Dr. Abraham Andi Padlan Patarai, M.Kes. dan Sekretaris Pengurus Pusat PDUI Dr. Andi Alfian Zainuddin, M.K.M. menguji berlakunya Pasal 1 Angka 9, Pasal 7 Ayat (5) Huruf b dan Ayat (9), Pasal 8, Pasal 10, dan Pasal 19.

Selain itu, Pasal 24 Ayat (5) Huruf b dan Ayat (7) Huruf b; Pasal 28; Pasal 29 Ayat (1) dan Ayat (2); Pasal 31 Ayat (1) Huruf b; Pasal 36 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3); Pasal 39; Pasal 40 Ayat (2) Huruf b; dan Pasal 54 UU Pendidikan Kedokteran.

"Kerugian konstitusional yang dimaksud pemohon adalah pendidikan dokter layanan primer merusak sistem hukum praktik kedokteran, dan menghambat peran dokter layanan umum dalam pelayanan kesehatan masyarakat," kata kuasa hukum pemohon Muhammad Joni, S.H., M.H. saat membacakan permohonannya dalam sidang di MK Jakarta, Selasa (18/11/2014).

Joni menyontohkan Pasal 36 yang menyebutkan seorang dokter sebelum diangkat sumpah harus memiliki sertifikat uji kompetensi yang dikeluarkan perguruan tinggi kedokteran atau kedokteran gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi.

"Pasal itu memunculkan dualisme lembaga yang menyelenggarakan uji kompetensi dokter sebab uji kompetensi dokter dan sertifikat kompetensi dokter sebenarnya wewenang Ikatan Dokter Indonesia (IDI) c.q. kolegium, bukan fakultas kedokteran," katanya.

Joni juga mengungkapkan berdasarkan aturan tersebut hanya dokter yang berstatus dokter layanan primer (DLP) yang berhak berpraktik di tengah masyarakat dan untuk berstatus DLP, seorang dokter diwajibkan mengikuti pendidikan uji kompetensi lagi.

Sementara itu, DLP dalam Pasal 1 Angka 9 UU Pendidikan Kedokteran tidak dikenal dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Joni mengatakan bahwa UU Praktik Kedokteran hanya mengenal istilah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis.

"Jadi, sebenarnya layanan dokter primer tidak memiliki pengakuan kompetensi profesi, legalitas, perizinan, dan gelar profesi," katanya.

Dia mengungkapkan bahwa munculnya istilah DLP menimbulkan kekacauan dalam sistem praktik kedokteran sehingga akses dokter (umum) untuk melayani masyarakat menjadi terganggu atau sebaliknya.

"Di perdesaan, dokter (umum) sangat sedikit atau langka, terlebih pendidikan DLP sangat mahal dan jangka waktu pendidikannya setara dengan dokter spesialis," kata Joni.

Untuk itu, pemohon meminta ketentuan yang menyangkut pelayanan dokter primer dan istilah layanan dokter primer dihapuskan karena bertentangan dengan UUD 1945.

Majelis panel pengujian UU Pendidikan Kedokteran ini diketuai Ahmad Fadlil Sumadi didampingi anggota Maria Farida dan Muhammad Alim.

Menanggapi permohonan itu, Maria mempertanyakan munculnya DLP yang dinilai pemohon bertentangan dengan UUD 1945.

"Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hanya mengatur hak-hak yang sifatnya umum. Kenapa istilah itu bisa bertentangan UUD 1945? Layanan dokter primer ada persoalan apa sehingga bisa dikatakan dengan pasal-pasal UUD 1945? Ini harus diperjelas," saran Maria.

Maria juga meminta pemohon untuk menguraikan secara perinci masing-masing pasal atau ayat apakah frasa atau pasal keseluruhan yang minta dibatalkan agar materi permohonan bisa lebih ringkas.

Untuk itu, majelis panel memberi waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com