KOMPAS.com - Pujian kepada presiden terpilih Joko Widodo disampaikan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri saat membuka Rapat Kerja Nasional IV PDI-P, Jumat (19/9), di Semarang. Megawati menyebut Jokowi sebagai pengejawantahan dari rakyat itu sendiri.
Pernyataan itu diakui Megawati berangkat dari penglihatannya ketika rakyat di seluruh pelosok negeri antusias menyambut blusukan Jokowi.
Jokowi, kader PDI-P, dengan kemampuan dan keterbatasannya, telah memikat hati sebagian rakyat. Kesuksesan itu tak terlepas dari cara Jokowi memimpin, yakni hadir dalam kesahajaan, selalu menyapa dan mendengar keluhan rakyat, serta mengupayakan solusi atas keluhan itu. Ia menjadi pemimpin yang tidak berdiri di menara gading dan membuat sekat dengan rakyatnya, tetapi menjadi pemimpin yang melayani.
Namun, menurut seorang tamu hotel di Semarang, Jhonny Ong, Joko Widodo bukan superman. Meski gaya kepemimpinan Jokowi bermutu dan program-programnya bagus, belum tentu program terlaksana. Mengapa? Menurut Jhonny, mentalitas pejabat publik, termasuk politisi, belum banyak berubah. Etos kerja dan disiplin mereka rendah. Praktik koruptif masih kuat.
Pendapat Jhonny itu mungkin benar. Oleh karena itu, perubahan mentalitas yang oleh Jokowi disebut juga "revolusi mental" harus dilakukan, terutama di PDI-P sendiri sebagai partai pemerintah. Kasus dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah politisi di KPK menjadi contoh betapa penting revolusi mental. Mental koruptif perlu dibongkar. Mental ”penguasa” harus diubah menjadi semangat ”melayani”.
Revolusi mental partai
Lantas, dari mana revolusi mental itu harus dimulai? Jokowi berpandangan, revolusi mental dimulai dari tiap individu di negeri ini; dimulai dari keluarga, tempat tinggal, lingkungan kerja, dan kemudian meluas.
Dalam konteks kepartaian, yang menjadi soal adalah bagaimana proses revolusi mental di PDI-P sebagai partai pemerintah. Langkah itu yang seharusnya dibahas dalam Rakernas IV, selain menata dan menyinergikan tiga pilar partai sebagai partai pemerintah. Perlu ada penajaman tentang bagaimana tiga pilar partai, yakni struktur partai, kader di eksekutif, dan kader di legislatif; serta membumikan revolusi mental di internal partai.
Namun, yang lebih mengemuka justru rekomendasi agar Megawati ditetapkan kembali menjadi Ketua Umum PDI-P periode 2015-2020. Mega, yang kini berusia 67 tahun, bersedia memenuhi aspirasi itu. ”Selama partai ini ada, yang memimpin harus trah Soekarno. Ini perlu sebagai perekat. Partai ini dinamis, tapi ketua umum biar trah Bung Karno. (Kader) Yang lain mentok sekjen saja,” kata Sekjen PDI-P Tjahjo Kumolo.
Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya, mengatakan, sebagai partai pemerintah, PDI-P harus bertranformasi menjadi partai modern. PDI-P tidak bisa lagi bergantung pada nama besar Soekarno atau sosok Megawati. Manajemen partai perlu berubah, pengambilan kebijakan dilakukan transparan dan bottom up. Rekrutmen kepemimpinan dan struktur partai didasarkan pada merit system (yang terpilih kader berkualitas, bukan karena koneksi politik). Juga, pengelolaan keuangan partai harus lebih baik dan akuntabel.
Dalam visi dan misi Jokowi-Jusuf Kalla disebutkan bahwa Jokowi-JK akan melakukan revolusi karakter bangsa melalui penataan kurikulum pendidikan nasional yang mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan dan budi pekerti.
Latar belakang pentingnya pendidikan karakter itu tidak terlepas dari situasi bahwa bangsa Indonesia berada di tengah pertarungan dua arus kebudayaan. Di satu sisi, manusia Indonesia dihadapkan pada arus kebudayaan yang didorong kekuatan pasar yang menempatkan manusia sebagai komoditas.
Di sisi lain, muncul arus kebudayaan yang menekankan penguatan identitas primordial di tengah derasnya arus globalisasi. Akumulasi dari kegagalan mengelola dampak persilangan dua arus kebudayaan itu menjadi ancaman bagi pembangunan karakter bangsa (nation and character building).
Bagaimana bangsa Indonesia dapat mengelola persilangan dua arus kebudayaan itu jika mentalitas pejabat publik dan politisi juga tergerus oleh kekuatan pasar yang cenderung melihat masyarakat, dengan berbagai persoalannya, hanya sebagai komoditas? (Ferry Santoso/Wahyu Haryo)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.