JAKARTA, KOMPAS.com – Praktek korupsi oleh kepala daerah dinilai tidak akan berkurang meski sistem pemilihan kepala daerah dirubah dari langsung menjadi tak langsung. Sebaliknya, ada kekhawatiran korupsi semakin besar karena kepala daerah tidak lagi memiliki tanggungjawab terhadap publik.
Hal itu diungkapkan peneliti Lingkaran Survei Indonesia Adjie Alfaraby usai memaparkan hasil survei LSI di Kantor LSI, Jakarta Timur (9/9/2014). Menurut Adjie praktik money politic dalam proses pilkada tak langsung dapat terjadi dalam dua tahap.
“Pertama, di tahapan pemilihan ketika kepala daerah dipilih,” kata Adjie.
Adjie menjelaskan, saat itu, seorang calon kepala daerah harus melobi anggota DPRD agar memilih dirinya pada saat pemilihan. Proses lobi politik inilah yang menjadi titik rawan terjadinya politik uang tersebut.
Terlebih, kata dia, apabila seorang calon kepala daerah ingin kembali terpilih pada periode kedua. Tahap kedua, ia mengatakan, ketika pembahasan anggaran di parlemen. Selama menjabat di pemerintahan, seorang kepala daerah tentu harus melakukan sebuah tindakan yang dinilai sebagai prestasi pemerintahan.
Dalam proses pembahasan anggaran itulah, muncul kekhawatiran pengaturan anggaran antara pemerintah dan parlemen.
“Jadi kalau alasan mengurangi korupsi menurut kami itu tidak bisa menjadi landasan, dengan pilkada langsung masyarkat bisa mengontrol kinerja kepala daerah,” tegasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.