Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Salah Paham Soal Rekomendasi Bawaslu

Kompas.com - 25/07/2014, 16:16 WIB


KOMPAS.com - Begitu saksi Tim Prabowo-Hatta, Rambe Kamarulzaman, membacakan pernyataan calon presiden Prabowo yang menarik diri dari proses yang sedang berjalan, para pengunjung di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/7/2014), menghela napas panjang. Tak menyangka, satu per satu saksi Prabowo-Hatta meninggalkan ruang sidang.

Di media sosial, sentimen negatif muncul dengan beberapa tagar yang menjadi topik tren dunia, seperti #PrabowoKokGitu dan #PresidenBaru. Lima hal yang dipersoalkan Prabowo sebenarnya terkait persoalan yang seharusnya sudah diselesaikan di tingkat bawah sesuai semangat sistem rekapitulasi berjanjang.

KPU dianggap tidak adil dan tidak terbuka. Salah satu penyebabnya adalah anggapan KPU DKI Jakarta tak menjalankan rekomendasi Bawaslu DKI Jakarta terkait pemungutan suara ulang di lebih dari 5.800 TPS. Tim Prabowo meyakini, sebanyak 5.800 lebih TPS itu harusnya diulang. Namun, hanya 13 TPS yang diulang. Ketua Bawaslu DKI Jakarta Mimah Susanti menegaskan, pihaknya sebenarnya tak pernah memberikan rekomendasi untuk pemilu ulang di 5.800 lebih TPS itu.

Rekomendasi yang diributkan itu tertuang dalam surat tertanggal 17 Juli 2014 bernomor 276/BawasluProv-DKIJakarta/VIII/2014. Total ada lima rekomendasi Bawaslu DKI ke KPU DKI yang dikeluarkan menjelang rekapitulasi tingkat provinsi DKI Jakarta. Diakui Mimah, rekomendasi dikeluarkan Bawaslu setelah menerima laporan Tim Prabowo-Hatta terhadap 5.841 TPS yang dipersoalkan. Data diberikan dalam bentuk cakram padat (CD) yang merinci ribuan TPS tersebut ditambah daftar pemilih terutama daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb).

Bawaslu DKI kemudian mengundang dan mengklarifikasi 75 ketua dan anggota KPPS. ”Tanggal 12 Juli dapat laporan dari tim nomor 1. Kami panggil KPPS, yang hadir hanya 39, yang bisa direkomendasikan PSU hanya di 13 TPS,” kata Mimah.

Terhadap sisa 5.802 TPS, Bawaslu DKI hanya meminta KPU DKI melakukan cek silang dokumen di 5.802 TPS DKI. ”Rekomendasinya itu cek silang dokumen jumlah pemilih DPKTb. Jika ditemukan pelanggaran, maka baru dilakukan PSU,” kata Mimah.

Tanpa bukti otentik

Ketua KPU Husni Kamil Manik sempat mengomentari penjelasan tersebut dengan mempertanyakan adakah bukti-bukti yang disertakan pelapor. "Ini, kan, bukan temuan Bawaslu, tapi laporan dari pihak lain. Seperti ketika orang menuduh maling, maka harus ada bukti itu," kata Husni.

Ternyata, Bawaslu sendiri tak diberi bukti otentik untuk menyatakan ada pelanggaran di TPS-TPS tersebut. Bawaslu yang tak sempat memverifikasi semua kasus tersebut kemudian memberikan rekomendasi kepada KPU DKI Jakarta untuk mengecek sendiri dan memastikan apakah ada kejanggalan.

Ketua KPU DKI Jakarta Sumarno mengatakan, rekomendasi PSU di 13 TPS sudah dilakukan walaupun rekomendasi keluar pada hari terakhir jelang tenggat pemilu ulang diperbolehkan menurut UU. Soal cek silang 5.800 lebih TPS, ada ikhtiar menindaklanjuti cek silang itu, tetapi belum semuanya. Hal itu terjadi karena rekomendasi mepet waktunya dengan rekapitulasi nasional. KPU sudah mengecek ratusan TPS, tetapi belum semua diselesaikan karena banyaknya jumlah TPS.

Saksi Tim Prabowo-Hatta, Didi Supriyanto, mengatakan, ”Ini tunggakan kasus. Kalau dikroscek saja, pasti kami terima hasilnya, tapi ini tak dilakukan KPU DKI Jakarta.”

Jauh-jauh hari, Husni Kamil Manik sudah menjawab tudingan pihaknya tidak transparan. Jika KPU berusaha tak adil dan menutup-nutupi proses, KPU tak akan mewajibkan jajarannya mengunggah formulir C1, DA1, DB1, dan DC1 di laman KPU. Para pihak telah memanfaatkan data terbuka KPU untuk berbagai keperluan, terutama pengawalan suara.

Tuduhan Prabowo lainnya adalah kecurangan masif dan sistematis untuk memengaruhi hasil Pilpres 2014. Yanuar Arif Wibowo, saksi dari Prabowo-Hatta, mengatakan, pihaknya menemukan 52.000 formulir C1 yang invalid dengan potensi pemilih mencapai 25 juta.

"Kami menolak proses rekap yang ada di KPU ini dan akan terus mengawal mandat rakyat melalui jalur yang disediakan konstitusi kita," kata Yanuar.

Husni mengatakan, ”Jika terjadi di TPS, saksi pasangan calon diberi kebebasan secara proporsional. Bahkan, kami mengingatkan agar saksi yang dikirim ke tempat pemungutan suara adalah saksi yang kredibel. Kami berharap saksi aktif untuk mengkritisi penyelenggaraan pemilu di TPS,” kata Husni.

Dengan sistem rekapitulasi berjenjang, diharapkan tak ada residu atas masalah-masalah di TPS. ”Namun, kami sampaikan secara obyektif, masih ada masalah-masalah yang residunya harus didiskusikan secara nasional,” kata Husni.

KPU telah transparan soal hasil pemilu sejak di TPS. Form C1 jadi pembanding hasil rekapitulasi nasional. Hasilnya, data terbuka yang dipublikasikan KPU dimanfaatkan para pihak, seperti di www.kawalpemilu.org untuk pantuan C1. Juga di http://rekapda1.herokuapp.com yang merekap dari data terbuka KPU yang berada di level kecamatan, kabupaten, dan provinsi, dengan hasil tingkat nasional yang sudah dipublikasikan pada 20 Juli. Hasilnya sama persis dengan hasil resmi KPU yang dipublikasikan pada 22 Juli. (Amir Sodikin)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kasus BTS 4G, Eks Anggota BPK Achsanul Qosasi Dituntut 5 Tahun Penjara dan Denda Rp 500 Juta

Kasus BTS 4G, Eks Anggota BPK Achsanul Qosasi Dituntut 5 Tahun Penjara dan Denda Rp 500 Juta

Nasional
Kemensos Gelar Baksos di Sumba Timur, Sasar ODGJ, Penyandag Kusta dan Katarak, hingga Disabilitas

Kemensos Gelar Baksos di Sumba Timur, Sasar ODGJ, Penyandag Kusta dan Katarak, hingga Disabilitas

Nasional
Nadiem Tegaskan Kenaikan UKT Hanya Berlaku Bagi Mahasiswa Baru

Nadiem Tegaskan Kenaikan UKT Hanya Berlaku Bagi Mahasiswa Baru

Nasional
Eks Penyidik Sebut Nurul Ghufron Seharusnya Malu dan Mengundurkan Diri

Eks Penyidik Sebut Nurul Ghufron Seharusnya Malu dan Mengundurkan Diri

Nasional
Jokowi dan Iriana Bagikan Makan Siang untuk Anak-anak Pengungsi Korban Banjir Bandang Sumbar

Jokowi dan Iriana Bagikan Makan Siang untuk Anak-anak Pengungsi Korban Banjir Bandang Sumbar

Nasional
Prabowo Beri Atensi Sektor Industri untuk Generasi Z yang Sulit Cari Kerja

Prabowo Beri Atensi Sektor Industri untuk Generasi Z yang Sulit Cari Kerja

Nasional
Komisi X Rapat Bareng Nadiem Makarim, Minta Kenaikan UKT Dibatalkan

Komisi X Rapat Bareng Nadiem Makarim, Minta Kenaikan UKT Dibatalkan

Nasional
Menaker Ida Paparkan 3 Tujuan Evaluasi Pelaksanaan Program Desmigratif

Menaker Ida Paparkan 3 Tujuan Evaluasi Pelaksanaan Program Desmigratif

Nasional
ICW Dorong Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat, Perintahkan Nurul Ghufron Mundur dari Wakil Ketua KPK

ICW Dorong Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat, Perintahkan Nurul Ghufron Mundur dari Wakil Ketua KPK

Nasional
Prabowo Disebut Punya Tim Khusus untuk Telusuri Rekam Jejak Calon Menteri

Prabowo Disebut Punya Tim Khusus untuk Telusuri Rekam Jejak Calon Menteri

Nasional
Reformasi yang Semakin Setengah Hati

Reformasi yang Semakin Setengah Hati

Nasional
Lemhannas Dorong Reaktualisasi Ketahanan Nasional Lewat 'Geo Crybernetic'

Lemhannas Dorong Reaktualisasi Ketahanan Nasional Lewat "Geo Crybernetic"

Nasional
Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Sukseskan WWF 2024, Pertamina Group Paparkan Aksi Dukung Keberlanjutan Air Bersih

Sukseskan WWF 2024, Pertamina Group Paparkan Aksi Dukung Keberlanjutan Air Bersih

Nasional
ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com