Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/07/2014, 07:18 WIB
Rahmat Fiansyah

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Sebagai produk penelitian, hasil hitung cepat atau quick count tetap memunculkan ruang untuk dimanipulasi. Hasil hitung cepat Pemilu Presiden 2014 yang dirilis sejumlah lembaga survei pasca-pemungutan suara, Rabu (9/7/2014), menunjukkan ada dua hasil yang berbeda. Perbedaan hasil ini memunculkan dugaan ada lembaga survei yang melakukan manipulasi data. 

Bagian mana dari proses quick count yang bisa menjadi celah bagi peneliti untuk memanipulasi hasilnya? Berikut penjelasan Anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia Hamdi Muluk dan Manajer Riset Poltracking Arya Budi, yang diwawancara Kompas.com, Kamis (11/7/2014) petang, secara terpisah:

1. Penentuan sampel TPS
Arya mengatakan, penentuan sampel tempat pemungutan suara (TPS) menjadi titik krusial dalam menentukan tingkat akurasi hasil quick count. Menurut dia, kekeliruan dalam menentukan sampel, baik sengaja maupun tidak sengaja, bisa berakibat perbedaan hasil yang didapat.

Penentuan sampel yang dilakukan Poltracking, kata Arya, dilakukan terpusat mulai dari tingkat provinsi hingga TPS. Hal ini untuk meningkatkan akurasi hasil quick count.

"Beberapa lembaga saya perhatikan, TPS hanya ditentukan di level desa atau kelurahan, kemudian selanjutnya pemilihan TPS ditentukan sendiri oleh relawan," kata dia.

Kekeliruan dalam menentukan sampel, menurut dia, bisa saja dilakukan secara sengaja oleh peneliti. Kesengajaan ini, dengan memilih TPS tidak secara acak (random sampling) dan proporsional, melainkan sengaja diarahkan pada TPS-TPS yang menjadi lumbung suara partai politik atau kandidat tertentu.

"Kalau itu berarti pertimbangannya sudah politis," ucap Arya.

Hal senada juga dikatakan Hamdi yang menyebutkan bahwa bisa saja lembaga survei melakukan kesengajaan dengan mengarahkan pada TPS-TPS yang menjadi pendukung kandidat tertentu.

"Di situ bisa dimainkan. Kita bisa cek juga sampling-nya bener apa enggak," kata dia.

2. Pengiriman dan pengolahan data
Hamdi mengatakan, ruang yang menjadi celah berikutnya adalah apakah lembaga tersebut benar-benar melakukan quick count di mana mereka memiliki relawan di sampel TPS yang mengirim data. Relawan, kata dia, memang menghabiskan biaya terbesar sehingga menjadi salah satu perhatian utama bagi lembaga survei dalam melakukan hitung cepat.

"Lembaga survei berpihak itu sebenarnya ya enggak masalah. Asal metodologiya itu dilakukan secara benar dan tidak ada iktikad yang tidak baik," kata dosen di Departemen Psikologi UI itu.

Senada dengan Hamdi, Arya mengatakan, permainan manipulasi data terjadi pada level TPS. Menurut dia, ada potensi beberapa lembaga survei yang jadi tidak melakukan proses quick count sama sekali.

"Bisa jadi tidak ada quick count sama sekali, tapi hanya mengandalkan satu orang yang ada di depan komputer dan dia memainkan angka itu dikontrol oleh orang lain," kata dia.

Arya mengatakan, untuk membuktikan sebuah lembaga yang benar-benar melakukan quick count adalah mengecek setidaknya 10 persen dari TPS yang menjadi sampel. Poltracking, kata Arya, mengharuskan para relawannya untuk melakukan dokumentasi foto.

"Kita input foto-foto itu lalu kita upload aktivitas quick count. Ini langkah lain untuk menunjukkan bahwa benar melakukan quick count," ujar Arya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com