JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar mengkritik adanya tuntutan pencabutan hak memilih dan dipilih yang dijatuhkan jaksa penuntut umum KPK. Menurut Akil, pidana tambahan berupa mencabut hak-hak tertentu itu merupakan hukuman peninggalan kolonial yang tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan.
"Karena sesungguhnya, penghukuman demikian mematikan hak-hak sipil warga negara yang dijamin dalam Undang Undang Dasar 45 Pasal 28 D ayat 1," kata Akil saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (23/6/2014).
Jika hak dipilih dan memilihnya dicabut, Akil meminta agar kewarganegaraannya sebagai Warga Negara Indonesia juga dicabut. Terdakwa kasus dugaan suap pengurusan sengketa pilkada dan pencucian uang itu merasa adanya hukuman tambahan membuatnya tak lagi berarti bagi bangsa Indonesia.
"Saya berharap terhadap pidana tambahan ini tidak hanya dijatuhkan pencabutan hak, tapi juga pencabutan terhadap kewarganegaraan saya selaku warga negara Indonesia," kata Akil.
Di sela-sela sidang, Akil menyampaikan kekecewaan adanya tuntutan pidana tambahan itu. Akil kecewa jaksa tidak mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dalam tuntutannya. Padahal, ia merasa pernah berjasa untuk bangsa Indonesia.
"Yah untuk apa lagi? Saya enggak lebih berharga dari Anda. Saya juga berbuat sesuatu untuk bangsa ini, tapi kan tidak ada hal-hal meringankan saya," ucapnya.
Dalam pleidoi pribadi berjudul "Saya Bukan malaikat, tapi Bukan Pencundang" itu, Akil mengungkapkan kiprahnya di DPR selama dua periode sejak tahun 1999. Mantan politikus Partai Golkar ini mengaku banyak terlibat dalam proses reformasi bangsa.
"Saya terlibat aktif dalam proses perubahan konstitusi negara RI sampai kepada penataan lembaga-lembaga negara," jelasnya.
Ia juga mengatakan pernah terlibat dalam proses legislasi di DPR tahun 2002, di antaranya pembahasan dan pembentukan UU Tipikor, UU tentang KPK, termasuk memimpin proses seleksi Pimpinan KPK periode I dan II.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.