Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memilih Presiden dalam Karung

Kompas.com - 31/05/2014, 21:22 WIB
KOMPAS.com - Sistem pemilu presiden yang dianut di negeri ini fondasinya diletakkan pada Pasal 6 dan 6A UUD 1945. Intinya menempatkan partai politik atau gabungan parpol sebagai satu-satunya pintu masuk bagi pengajuan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam proses pemilu presiden.

Bahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) juga pernah menolak permohonan uji materi UU Pilpres mengenai peluang calon independen untuk bisa maju sebagai calon presiden dalam pilpres, yakni melalui putusan MK Nomor 56/PUU-VI/2008. Pertimbangan MK sangat sederhana karena hanya merujuk dan mengabsahkan secara tekstual rumusan Pasal 6 dan 6A UUD 1945, yang dituangkan dalam UU No 42/2008 tentang Pilpres.

Namun, pada waktu itu, di kalangan majelis hakim MK sendiri juga ada perbedaan pendapat yang antara lain menyatakan bahwa bila Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dianggap sebagai hak konstitusional parpol, maka hak itu merupakan derivasi dari hak-hak dasar warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. Seharusnya, MK melihat juga hak-hak konstitusional lain yang diatur dalam UUD 1945, antara lain hak-hak yang dijamin oleh Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.
Transaksi antar-elite

Sebagai implikasi dari Pasal 6 dan 6A UUD 1945 itu, setiap menjelang pencalonan presiden—sejak beberapa kali pemilu hingga kini—dunia politik ketatanegaraan diwarnai kesibukan yang tinggi di kalangan parpol untuk membangun koalisi. Dalam bahasa lebih halus: kerja sama antar-(elite)-parpol untuk menentukan pasangan capres dan cawapres yang akan diusung dalam proses kontestasi pilpres.

Koalisi antarparpol, meskipun dalam putusan MK No 14/PUU-XI/2013 akan ditiadakan sebagai konsekuensi penghapusan limitasi ambang batas pencalonan presiden mulai tahun 2019, saat ini tetap menjadi boarding pass untuk memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 terkesan memiliki nilai ganda dalam menyikapi proses pencalonan presiden karena memungkinkan pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. Hal inilah yang oleh UU Pilpres ditafsirkan bagi keharusan adanya ambang batas bagi perolehan suara parpol atau gabungan parpol dalam syarat pencalonan pasangan capres dan cawapres.

Di saat MK sebagai institusi yang dinisbahkan sebagai penafsir tunggal atas konstitusi (the sole interpreter of the constitution) dalam putusannya tak memberi pilihan yang pasti terhadap tafsir Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 itu, maka mekanisme pilpres kali ini tetap membuka celah bagi transaksi antar-(elite)-parpol menjelang pencalonan presiden. Mekanisme pencalonan presiden tetap tersandera praktik transaksional koalisi parpol meskipun dibungkus dengan berbagai upaya penghalusan bahasa politik.

Publik tetap sulit berharap akan kepastian presiden dan cawapres yang terpilih nanti tidak tersandera dan menjadi tawanan koalisi parpol. Apalagi jika mencermati realitas politik Senayan selama ini—yang cenderung sangat lentur dalam mematuhi peraturan tata tertib yang dibuatnya sendiri dalam pelaksanaan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan—sulit ditepis kekhawatiran bahwa presiden dan aparat eksekutifnya akan tetap berpotensi terganjal dalam mengeksekusi sejumlah kebijakan yang harus melewati otorisasi politik Senayan.

Selama banyak peraturan perundang-undangan masih memungkinkan ”bala tentera” Senayan bergerilya hingga satuan-satuan kerja di lingkungan eksekutif, sulit dihindari adanya replikasi dan duplikasi praktik- praktik politik transaksional yang menjadikan eksekutif sebagai ”sandera” demokrasi ala parlementerisme Senayan walaupun kini semua pasangan capres dan cawapres berwacana mengenai penegasan sistem presidensial.

Sangat penting praktik-praktik politik ketatanegaraan semacam ini juga menjadi bahan yang diperdebatkan dalam kampanye para pasangan capres dan cawapres. Dengan demikian akan terbentuk kesadaran publik untuk menolak terulangnya praktik-praktik politik transaksional dalam sistem presidensial ”rasa” parlementer seperti selama ini.

W RIAWAN TJANDRA
Pengajar Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 18 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Polisi Temukan Bahan Peledak Saat Tangkap Terduga Teroris di Karawang

Polisi Temukan Bahan Peledak Saat Tangkap Terduga Teroris di Karawang

Nasional
Polisi Tangkap Satu Terduga Teroris Pendukung ISIS dalam Penggerebekan di Karawang

Polisi Tangkap Satu Terduga Teroris Pendukung ISIS dalam Penggerebekan di Karawang

Nasional
BPIP: Kristianie Paskibraka Terbaik Maluku Dicoret karena Tak Lolos Syarat Kesehatan

BPIP: Kristianie Paskibraka Terbaik Maluku Dicoret karena Tak Lolos Syarat Kesehatan

Nasional
Sekjen Tegaskan Anies Tetap Harus Ikuti Aturan Main meski Didukung PKB Jakarta Jadi Cagub

Sekjen Tegaskan Anies Tetap Harus Ikuti Aturan Main meski Didukung PKB Jakarta Jadi Cagub

Nasional
PKB Tak Resisten Jika Anies dan Kaesang Bersatu di Pilkada Jakarta

PKB Tak Resisten Jika Anies dan Kaesang Bersatu di Pilkada Jakarta

Nasional
Ditanya Soal Berpasangan dengan Kaesang, Anies: Lebih Penting Bahas Kampung Bayam

Ditanya Soal Berpasangan dengan Kaesang, Anies: Lebih Penting Bahas Kampung Bayam

Nasional
Ashabul Kahfi dan Arteria Dahlan Lakukan Klarifikasi Terkait Isu Penangkapan oleh Askar Saudi

Ashabul Kahfi dan Arteria Dahlan Lakukan Klarifikasi Terkait Isu Penangkapan oleh Askar Saudi

Nasional
Timwas Haji DPR Ingin Imigrasi Perketat Pengawasan untuk Cegah Visa Haji Ilegal

Timwas Haji DPR Ingin Imigrasi Perketat Pengawasan untuk Cegah Visa Haji Ilegal

Nasional
Selain Faktor Kemanusian, Fahira Idris Sebut Pancasila Jadi Dasar Dukungan Indonesia untuk Palestina

Selain Faktor Kemanusian, Fahira Idris Sebut Pancasila Jadi Dasar Dukungan Indonesia untuk Palestina

Nasional
Kritik Pengalihan Tambahan Kuota Haji Reguler ke ONH Plus, Timwas Haji DPR: Apa Dasar Hukumnya?

Kritik Pengalihan Tambahan Kuota Haji Reguler ke ONH Plus, Timwas Haji DPR: Apa Dasar Hukumnya?

Nasional
Pelaku Judi 'Online' Dinilai Bisa Aji Mumpung jika Dapat Bansos

Pelaku Judi "Online" Dinilai Bisa Aji Mumpung jika Dapat Bansos

Nasional
Kemenag: Pemberangkatan Selesai, 553 Kloter Jemaah Haji Indonesia Tiba di Arafah

Kemenag: Pemberangkatan Selesai, 553 Kloter Jemaah Haji Indonesia Tiba di Arafah

Nasional
Pengamat Sebut Wacana Anies-Kaesang Hanya 'Gimmick' PSI, Risikonya Besar

Pengamat Sebut Wacana Anies-Kaesang Hanya "Gimmick" PSI, Risikonya Besar

Nasional
Jelang Idul Adha 2024, Pertamina Patra Niaga Sigap Tambah Solar dan LPG 3 Kg

Jelang Idul Adha 2024, Pertamina Patra Niaga Sigap Tambah Solar dan LPG 3 Kg

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com