JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi mengecam keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Mahkamah Konstitusi.
"Kami mengecam dengan keras putusan MK kemarin, yang memotong pengawasan dan pengetatan seleksi yang terkait dengan kepentingan mereka sendiri," kata Erwin Natosmal Oemar selaku anggota koalisi teresbut dalam konferensi pers di Gedung YLBHI, Jakarta, Kamis (14/2/2014) siang.
Erwin menilai MK sebagai lembaga peradilan telah membuat putusan yang menguntungkan mereka sendiri. Dengan putusan ini, MK berpotensi semakin tidak terawasi. Mekanisme seleksi hakim MK juga akan tetap ambigu. "Artinya, setelah dibacakannya putusan tersebut, MK membuka kembali lemahnya sistem yang ada di UU MK yang lama," ujarnya.
Erwin menengarai bahwa pembatalan UU itu dapat berakibat politikus partisipan partai masih bisa menjadi hakim MK. Hal itu dapat membuka kesempatan bagi mereka untuk mempermainkan MK demi kepentingan pribadi ataupun kelompoknya. Kenetralan MK akhirnya menjadi semakin diragukan.
Menurut Erwin, hakim-hakim yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi tersebut mengindikasikan hilangnya sikap kenegarawanan hakim. Hakim MK secara kasat mata dapat mempertontonkan kepada publik bahwa kewenangan dan mandat yang diberikan telah disalahgunakan.
Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk, Erwin menyatakan bahwa koalisinya akan terus mengawasi rekrutmen seleksi hakim MK. "Koalisi akan terus mengawal rekrutmen seleksi hakim konstitusi yang berdasarkan pada prinsip transparan, objektif, akuntabel, dan partisipatif yang dilakukan oleh DPR dalam waktu dekat," kata dia.
Seperti diberitakan, Perppu MK yang kemudian disahkan menjadi UU dibuat setelah muncul kasus dugaan korupsi yang menjerat Ketua MK saat itu, Akil Mochtar. Ada perubahan dalam proses rekrutmen hakim konstitusi. Ada tiga substansi penting dalam revisi tersebut. Pertama, penambahan persyaratan menjadi hakim konstitusi dengan latar belakang partai politik harus terlebih dulu non-aktif selama minimal 7 tahun dari partainya.
Kedua, soal mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi dari presiden, DPR, dan MA yang harus terlebih dulu di seleksi oleh panel ahli yang dibentuk Komisi Yudisial. Ketiga, soal perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang dipermanenkan.