Oleh:


KOMPAS.com
- APA yang terjadi pada Partai Demokrat sepanjang tahun ini menarik diamati. Inilah partai yang bergantung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemilu 2004, PD belum berkuasa meski SBY terpilih menjadi presiden.

Pada Pemilu 2009, perolehan suara PD meningkat sekitar tiga kali lipat. Ini rekor yang belum pernah terjadi dalam sejarah politik dunia di sebuah negara demokratis. Namun, di satu pihak citra PD terpuruk karena berbagai kasus korupsi elite partai. Di pihak lain popularitas SBY juga terus menurun.

Mana penyebab dan mana akibat keterpurukan, korupsi PD atau kinerja SBY, takkan pernah terjawab. Sama seperti teka-teki ”ayam atau telur”. Teka-teki itu makin sukar dijawab ketika SBY mengambil alih jabatan ketua umum, Februari 2013.

Sebagai ketua umum, SBY mematok target meningkatkan citra dan elektabilitas partai. Namun, berhubung kesibukan sebagai kepala negara, ia kurang memiliki waktu dan perhatian mengurus partai. Terlihat jelas, SBY berjuang habis-habisan. Namun, mengelola krisis partai berkuasa tak seperti membalikkan tangan. Sebab, tagline PD pada Pemilu 2009 ”Katakan Tidak pada Korupsi”. Kenyataan mengatakan sebaliknya. Betul, tak hanya PD yang dirundung korupsi, partai-partai lain juga. Namun, itulah kodrat partai yang berkuasa yang menjadi barometer politik.

Kontradiksi korupsi itu membuat citra PD makin terpuruk. Apalagi narasi korupsi yang melibatkan tokoh, seperti Muhammad Nazaruddin atau Angelina Sondakh, mengundang cibir. Selain itu, konsentrasi SBY melulu pada mengangkat citra dan elektabilitas. Seolah gangguan isu-isu korupsi dapat dijinakkan dengan langkah-langkah mekanikal dan prosedural saja.

Sumber penurunan elektabilitas juga keretakan internal partai. Perlawanan Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) menjadi bukti konkret. Bagi kalangan berpandangan ekstrem, predikat yang tepat bagi PD the party is over (pesta sudah usai). Bagi yang moderat yang terjadi sejatinya krisis berskala besar.

Dalam posisi limbung, SBY menemukan jalan keluar yang jitu, yakni menyelenggarakan konvensi. Konvensi diharapkan tak hanya mengangkat citra dan elektabilitas saja, tetapi juga menutup aib korupsi selama-lamanya.

Perhatian memang langsung teralih ke konvensi. Masyarakat dan pers terpukau pada sebelas nama peserta konvensi/capres. Dan, sebagian dari sebelas nama itu berkualitas presiden. Keragaman latar belakang, jabatan, dan politik (politisi/akademisi/pejabat) menjadi daya tarik tersendiri.

Konvensi diliput antusias media massa. Data memperlihatkan pada medio 2013 peliputan konvensi mencapai tiga ribuan news item. Ini angka yang tinggi yang cuma dikalahkan news item peliputan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo.

Namun, jumlah itu secara bertahap menurun drastis bulan per bulan sampai Desember 2013 yang hanya di bawah 300-an news item. Kesimpulannya, konvensi kurang menarik perhatian. Apa pasal? Salah satunya karena jumlah peserta terlalu banyak.

Media dan masyarakat tak disuguhkan kompetisi. Sebagian peserta bahkan tak dikenal masyarakat. Dan, hampir semua peserta ewuh pakewuh mengkritisi SBY. Padahal, kampanye perlu menarik batas politik dari petahana meski dari partai sama.

Hampir semua peserta enggan bersikap realistis, mengambil posisi melanjutkan kesinambungan rekor petahana yang seolah bagus semua. Akibat kultur ewuh pakewuh itu tampaklah keseragaman visi, misi, dan program ke 11 peserta. Namun, mesti diakui, belakangan ini keseragaman itu mulai pudar.

Masalahnya, apakah cukup waktu bagi PD menguber perbaikan citra dan kenaikan elektabilitas? Apalagi, suka atau tidak, penahanan Anas Urbaningrum bukan an isolated incident yang terpisah dari kiprah PD dalam beberapa tahun terakhir.

PD partai nasionalis yang andal. Bagi sebuah partai, sepuluh tahun meniti buih kekuasaan sejatinya masih tergolong masa seumur jagung. Partai yang mengalami krisis sesekali perlu menggeliat, tetapi perlu waktu lebih panjang untuk bangkit lagi.