Sejak Natal perdana hingga hari ini, kelahiran Yesus Kristus secara tak terbantahkan menghadirkan moralitas pengharapan, bukan saja bagi yang merayakan, melainkan juga bagi siapa pun yang berkehendak baik.
Tuntutan mewujudkan moralitas pengharapan Natal kian mendesak, mengingat zaman kita ditandai dengan berbagai keprihatinan, terutama atas kehidupan sesama umat manusia.
Pesan Natal bersama yang disampaikan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) tahun ini menyebutkan sejumlah keprihatinan seperti tindakan-tindakan intoleran yang mengancam kerukunan dalam berbagai bentuk.
Di depan mata kita juga tampak kerusakan alam seperti kurang peduli terhadap sampah, polusi, maupun dalam bentuk eksploitasi besar-besaran terhadap alam.
Hal yang juga masih terus mencemaskan kita adalah kejahatan korupsi yang makin menggurita. Hal lain yang juga memprihatinkan adalah lemahnya integritas para pemimpin bangsa.
Bahkan, dapat dikatakan bahwa integritas moral para pemimpin bangsa ini kian hari kian merosot.
Disiplin, kinerja, komitmen, dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat digerus oleh kepentingan politik kekuasaan. Namun, kita bersyukur karena masih ada beberapa figur pemimpin yang patut dijadikan teladan.
Meretas tirani egoAspek utama moralitas pengharapan Natal adalah meretas tirani ego. Itu sebabnya Yesus Kristus lahir ke bumi, bukan di istana raja atau di tempat elite; melainkan di kandang binatang dan dibaringkan di palungan (Lukas 2:7).
Di tengah situasi muram, kita bersyukur sebab masih menyaksikan spontanitas masyarakat mewujudkan moralitas pengharapan dengan meretas tirani ego! Ada begitu banyak kehendak baik yang masih mau merajut kerja sama dalam rangka mewujudkan persaudaraan sejati, bahkan yang bersifat lintas iman, lintas budaya, dan lintas agama.
Kita mengakui bahwa di hamparan keprihatinan yang tersebar di negeri ini terdapat pengalaman penderitaan. Bahkan, seperti dituturkan JB Metz, sejarah umat manusia telah menjadi sejarah penderitaan.
Di balik kisah kemenangan dan penaklukan militer, kejayaan kebudayaan besar, dan penemuan-penemuan yang mengagumkan, tersembunyi penderitaan yang menyertai semua kisah sukses.
Tidaklah mengherankan kalau kisah sedih dan tragis para TKI, khususnya TKW, tidak pernah ditangani tuntas atas nama keadilan dan kemanusiaan.
Demikian pula dengan para korban kekerasan dan ketidakadilan yang terserak di seluas republik ini! Mereka bukan bagian dari sejarah sukses, dus, tidak memiliki kepentingan historis! Inilah sesat pikir yang masih menguasai elite politik dan penguasa kita.
Padahal, sesungguhnya, sebagaimana diserukan Albert Nolan dalam Jesus Today, Sprituality of Radical Freedom (2006:54), sejarah dari setiap peperangan dan kekerasan selalu ”menyisakan” orang-orang yang terluka, menjadi cacat, dilumat, dibunuh, dianiaya, direndahkan, dan dibiarkan mati di parit-parit pertahanan.
Mutatis mutandis, hal yang sama berlaku untuk setiap kekerasan dan ketidakadilan yang banyak terjadi di negeri kita; termasuk perilaku koruptif para elite!