Kritikan itu disampaikan Sidarto saat acara Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi tahun 2013 di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (4/12/2013).
"Saya banyak kehilangan orang-orang pintar karena modal cekak tidak terpilih lagi. Yang masuk pengusaha, artis. Apakah ini dewan yang harus kita bangun? Yang idealis, yang pintar modal cekak tidak mampu masuk DPR," kata Sidarto.
Begitu pula dengan pemilu kepala daerah. Setidaknya, kata dia, dibutuhkan Rp 10 miliar sampai Rp 50 miliar untuk menjadi bupati/wali kota. Setelah terpilih, mereka akan berusaha mengembalikan modal dengan segala cara.
"Jadi gubernur di atas Rp 100 miliar, kecuali Pak Jokowi-lah. Dia bisa menang (di Pilgub Jakarta) karena keajaiban Allah saja. Waktu itu saya ketua pemenangan (Jokowi-Ahok) di Cilandak. Saya keluar uang, bikin posko, bayar saksi. Dari dulu (Jokowi) kurus sampai sekarang kurus terus," kata Sidarto.
Melihat fakta itu, Sidarto mengaku tak heran jika sampai 300-an kepala daerah, 40-an anggota DPR, dan sekitar 1.000 anggota DPRD kabupaten/kota tersangkut kasus korupsi. Ia berharap ke depan tidak ada lagi yang terjerat korupsi.
Sidarto juga mengkritik sistem otonomi daerah yang membuat kepala daerah berkuasa. Menurutnya, memang ada hasil positif terhadap otonomi daerah seperti terlihat di Surabaya dan Jakarta. Namun, katanya, sebagian besar kepala daerah banyak memanfaatkan jabatan untuk membayar ongkos politik.
"Mari kita semua warga negara mengangkat tema antikorupsi sebagai musuh bersama kita semua," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.