Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menantikan Kehadiran Sang Negarawan

Kompas.com - 17/06/2013, 10:17 WIB
Oleh SULTANI

Di tengah pandangan minor terhadap citra politisi, gaya berpolitik yang mampu menjembatani segregasi sosial politik dipandang sebagai sebuah kelebihan. Kemampuan meretas kebuntuan komunikasi politik berbagai kekuatan politik, sembari tetap mempertahankan keutuhan ideologi partai politik, semakin dibutuhkan negeri ini.

Sebagian besar publik mengetahui sepak terjang politik tokoh-tokoh nasional seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ataupun Taufiq Kiemas (TK). Namun, tak cukup banyak publik yang menyadari peran-peran komunikasi politik yang mereka jalankan, hingga para tokoh penghubung itu ”menghilang” dan peran-peran itu masih dibiarkan kosong.

Almarhum Gus Dur adalah tokoh pluralisme yang bisa bergaul dan diterima semua kelompok dan kalangan sosial di Indonesia. Gus Dur mampu mengakumulasi kekuatan komunikasi itu menjadi modal sosial dalam kontestasi presiden 1999.

Kehadiran TK dalam kancah politik Indonesia, walaupun tidak sehebat Gus Dur, juga dianggap sebagai komunikator yang mampu memecah kebuntuan komunikasi yang terjadi di negara ini. Sebut saja peran kebuntuan komunikasi antara Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan lawan-lawan politiknya, terutama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Publik melihat bahwa kemampuan menjadi consensual maker di antara berbagai kepentingan yang berbeda-beda masih merupakan salah satu unsur terpenting dari ciri seorang negarawan negeri yang majemuk ini. Hampir 80 persen responden jajak pendapat ini setuju dengan gaya berpolitik TK dalam konteks menjalin komunikasi PDI-P dengan lawan politiknya.

Meminjam pandangan Yudi Latif, TK merupakan tokoh berciri liminal (berposisi ”antara”) yang bisa melintasi batas-batas pengelompokan karena pertautannya dengan ragam aliran. Seperti oksigen yang hadir dan berbagi di sembarang ruang, kehadiran tokoh liminal berperan penting sebagai jembatan penghubung antarhorizon, perajut solidaritas antarkutub, dan pelancar lalu lintas sumber daya, yang memungkinkan arus komunikasi dan kerja sama bisa berjalan (Kompas, 10/6).

Syarat untuk menciptakan tokoh berciri liminal adalah kemampuan untuk menurunkan kadar atau kesadaran ideologis agar bisa bergerak luwes menembus sekat-sekat perbedaan politik. Tokoh liminal diperlukan untuk meredam pertentangan politik ketika menjembatani lalu lintas komunikasi dan kerja sama antarelemen bangsa. Dalam posisi sebagai ”jembatan”, kehadiran Gus Dur dan TK sering dilupakan ketika bangsa ini berhasil melintasi saat-saat yang genting.

Di satu sisi, kehadiran mereka dibutuhkan semua orang. Namun, di sisi lain, kehadiran mereka justru tidak disadari banyak orang, bahkan sering kali menimbulkan kontroversi.

Membangun negarawan

Liminasi yang ”diperankan” Gus Dur dan TK boleh jadi merupakan gaya individu yang kadang kala membingungkan kader parpol dan masyarakat. Mereka kerap dicurigai karena dianggap menurunkan kadar keyakinan ideologis bersama dalam menilai antara pihak kekuatan politik yang ”benar” dan ”salah”. Sikap TK dalam pencalonan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta pada pertengahan 2012, misalnya, membingungkan publik dan simpatisan PDI-P.

Sulit dimungkiri bahwa sikap semacam itu membutuhkan semacam ”keberanian” ekstra, terutama atas risiko politik kehilangan sebagian legitimasi. Namun, untuk situasi karut-marut dan pragmatisme serta kebuntuan politik saat ini, justru aspek keberanian bersikap itu sangat diperlukan. Karena itu, tak heran jika responden mengungkapkan keberanian sebagai syarat utama menjadi politisi-negarawan selain visioner.

Soal visioner, budayawan Ahmad Syafii Maarif menggambarkannya dengan syarat yang berat, yakni ”orang yang bervisi jauh melampaui usianya dan menggunakan kekuasaan semata sebagai wahana mewujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan bersama”.

Ini berarti, ukuran menjadi negarawan ada dalam sikap dan kemurnian hati seorang politisi dalam memperjuangkan tujuan politik yang lebih tinggi. Bahkan, bisa-bisa kepentingan parpol pun dipertaruhkan sebagaimana pandangan 18,4 persen responden yang menilai kemurnian hati negarawan akan terlihat ketika parpol sebagai induk kendaraan politisi ”dikalahkan” demi cita-cita bangsa. Dengan demikian, loyalitas kepada parpol bisa saja berakhir ketika pengabdian kepada negara dimulai, khususnya ketika terjadi konflik kepentingan antara posisinya sebagai pejabat publik dan sebagai kader parpol.

Peran parpol

Dalam jajak pendapat ini, krisis negarawan ini juga tecermin dari penilaian atas rendahnya komitmen para pejabat negara— dari pusat sampai daerah—terhadap pembangunan persatuan bangsa. Separuh lebih bagian responden jajak ini tak melihat satu pun komponen penting negara yang secara nyata dan sungguh-sungguh komit terhadap pembangunan persatuan bangsa saat ini. Para elite penyelenggara negara sibuk berasyik masyuk dengan agenda membangun dan mempertahankan kekuasaan lima tahunan.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana mengisi ”kekosongan” ruang-ruang ideal pasca-semakin habisnya tokoh-tokoh yang selama ini dianggap ”negarawan” sebagaimana Gus Dur, TK, dan tokoh-tokoh lain? Terlebih realitas politik saat ini cenderung mengarah ke apa yang diteorikan Lindblom dan Robert Dahl sebagai economic democracy, yaitu situasi politik demokrasi yang diintervensi berbagai kekuatan kapitalisme, dan orientasi partai yang dipaksa mengarahkan perhatian ke ”permintaan pasar”.

Jawaban atas pertanyaan ini pasti kembali ke peran dan kesadaran parpol membangun diri, terutama melalui kader-kadernya yang akan menjadi politisi (calon legislatif). Dalam situasi di mana lebih banyak publik yang sangsi kepada parpol secara umum, parpol dituntut lebih banyak melahirkan sikap politik yang bersifat konsensual, konsisten membela ideologinya, tetapi sekaligus membangun masyarakat. Demikian pula saat dikungkung oleh ”kerangkeng besi” hukum pasar ekonomi politik yang mendikte kemenangan melalui logika politik ekonomi, parpol dituntut semakin cerdas menelurkan politisi pemberani yang sekaligus mampu menjadi consensual maker di arena kemajemukan politik nasional. (LITBANG KOMPAS)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com