JAKARTA, KOMPAS.com - Vonis berat dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pada dua terdakwa korupsi pengadaan solar home system (SHS) atau listrik untuk perdesaan. Kasus ini terjadi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada periode 2007-2008. Kerugian negara pada kasus ini mencapai Rp 80 miliar.
Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Jacob Purwono, selaku terdakwa pertama divonis 9 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Sedangkan anak buahnya, mantan Kepala Sub-usaha Energi Terbarukan Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kosasih Abbas, divonis penjara empat tahun dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan.
Perkara ini ditangani majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang terdiri atas Sudjatmiko, Aviantara, Joko Subagiyo, Made Hendra, dan Anas Mustakim. “Menyatakan terdakwa satu Jacob Purnowo dan Kosasih Abbas terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagai perbuatan berbarengan sebagaimana dalam dakwaan subsider,” kata hakim Sudjatmiko.
Kedua terdakwa terbukti melakukan korupsi dalam dakwaan subsider, yakni Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP. Kedua terdakwa juga diwajibkan membayar uang pengganti, senilai keuntungan yang diterima dari korupsi ini.
Jacob diharuskan membayar uang pengganti Rp 1 miliar dan Rp 30 juta, sedangkan Kosasih harus mengembalikan Rp 550 juta. Selambat-lambatnya, uang pengganti harus dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, atau subsider dua tahun penjara untuk Jacob dan 1 tahun penjara untuk Kosasih.
Hukuman Kosasih lebih ringan karena posisinya hanya anak buah, bersikap kooperatif, dan mengakui kesalahannya. Namun, hakim tidak menempatkan Kosasih sebagai justice collaborator alias pelaku yang bekerja sama mengungkap kejahatan lebih besar.
Kedua terdakwa dinyatakan terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan dan pemasangan SHS. Keduanya dinyatakan terbukti mengatur perusahaan pemenang lelang pengadaan dan pemasangan SHS, selama 2007-2008. Mereka juga dinyatakan terbukti menerima hadiah uang dari para pemenang lelang.
“Sebelum dimulainya pelaksanaan dan pemasangan SHS, terdakwa 1 (Jacob) memberi arahan kepada terdakwa 2 (Kosasih) agar melaksanakan tender sesuai dengan ketentuan dan kalau ada pemberian uang dari rekanan diterima saja karena Ditjen LPE sedang butuh dana untuk pembahasan RUU (rancangan undang-undang) ketenagalistrikan di DPR,” ungkap anggota majelis Made Hendra.
Dalam proyek ini, Jacob bertindak sebagai kuasa pengguna anggaran sementara Kosasih merupakan pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek. Kemudian, lanjut hakim, Jacob memberikan catatan tangan kepada Kosasih yang berisi nama perusahaan dan orang yang harus dimenangkan dalam proyek tersebut. Catatan itu pun lengkap dengan nilai paket pekerjaan yang akan diberikan kepada orang atau perusahaan-perusahaan itu.
Setoran RUU Ketenagalistrikan
“Terdakwa 2 (Kosasih) kemudian meminta panita pengadaan untuk mengubah hasil teknis perusahaan yang nama-namanya ada dalam catatan agar dapat dijadikan pemenang,” tambah hakim Made.
Setelah itu Kosasih menerima pemberian uang dari pihak rekanan dan disimpan bendahara di brankas kantor. Sebagain dari uang tersebut, senilai Rp 1 miliar, diberikan ke DPR untuk mengurus pembahasan RUU Ketenagalistrika, selebihnya dinikmati kedua terdakwa senilai uang pengganti yang harus dibayar. Kedua terdakwa menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut, belum memutuskan pula akan banding atau tidak.
Putusan ini diwarnai dissenting opinion, alias pendapat berbeda dari majelis hakim. Hakim Aviantara dan Anas Mustakim menilai, kedua terdakwa seharusnya dianggap terbukti melanggar Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP, sebagaimana dakwaan pertama.
Menurut kedua hakim ini, unsur-unsur dalam Pasal 2 memiliki makna yang lebih luas dibandingkan Pasal 3 yang menjadi dakwaan subsider.“Apabila Pasal 3 terpenuhi maka unsur Pasal 2 juga terpenuhi,” kata hakim Aviantara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.