KOMPAS.com – “Maaf ya harus mengantre begini. Gedung ini tidak memiliki desain yang baik,” kata polisi perempuan yang berjaga di pintu masuk Portcullis House, London, Kamis (17/5/2012), pekan kemarin. Ia sibuk mengatur antrean pengunjung yang hendak masuk ke dalam Gedung Parlemen Kerajaan Inggris.
Portcullis House adalah gedung tambahan yang letaknya berseberangan dengan gedung utama parlemen, Westminster Hall Palace, dipisahkan sebuah jalan utama di kota London. Kedua gedung itu terhubungkan dengan lorong bawah tanah yang terletak di bawah jalan utama di atasnya.
Portcullis House resmi dibuka pada 2001. Pintu gedung itu berada persis di pinggir jalan, hanya terpisahkan sebuah teras sempit dan trotoar. Ada dua pintu putar saling bersisian yang menjadi akses masuk ke dalam. Satu pintu untuk para anggota parlemen dan staf yang memiliki kode khusus untuk memutar pintu. Satu pintu lagi untuk para tamu. Jika pengunjung banyak, antrean tampak memanjang.
Pengunjung harus masuk satu-satu dan melewati mesin pemindai (metal detector). Semua barang bawaan termasuk jaket atau jas harus dilepas dan diperiksa di mesin pemeriksaan. Tiga orang polisi bersenjata laras panjang berjaga di dekat mesin pemeriksaan.
Ruang kosong yang terletak antara pintu dan perlengkapan mesin pemindai hanya muat untuk sekitar enam orang. Para pengunjung dipotret satu per satu lalu mendapat kertas kecil bertulis nomor kunjungan dan foto diri pada sebuah tali hitam yang harus digantung di leher selama berada di gedung parlemen.
Siang itu, rombongan delegasi Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) berkesempatan menyaksikan sesi debat pada persidangan di Majelis Rendah Parlemen Kerajaan Inggris. Rombongan BAKN terdiri dari Ketua BAKN Soemarjati Arjoso (F-Partai Gerindra), Yahya Secawirya (F-Partai Demokrat), Komaruddin Sjam (F-Partai Golkar), Eva Sundari (F-PDIP), dan Nur Yasin (F-PKB). Ikut juga dalam rombongan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia Hasan Bisri.
Delegasi BAKN parlemen Indonesia berkunjung ke Inggris 16-18 Mei atas undangan Parlemen Inggris dan difasilitasi oleh USAID untuk mempelajari sistem kerja pengawasan anggaran di pemerintahan perlementer Kerajaan Inggris. Di sana, selain bertemu dan berdialog dengan anggota PAC serta melihat cara kerja PAC, rombongan juga antara lain bertandang ke kantor Office Budget Respobsility (OBR) dan National Audit Office (NAO).
Substantif
Debat siang itu berlangsung antara pejabat pemerintah dengan anggota komisi parlemen. Kurang lebih sama dengan rapat dengar pendapat umum yang berlangsung di DPR. Debat adalah kesempatan bagi Majelis Rendah untuk mendiskusikan kebijakan-kebijakan pemerintah, mengajukan rancangan regulasi, dan isu-isu terbaru. Siang itu, sesi debat menghadirkan Secretary of State for Energy dan Climate Change.
Acara debat berlangsung di gedung utama, Westminster Hall Palace. Dari Portcullis House kami turun ke bawah menyusuri lorong bawah tanah untuk sampai di kompleks Istana Westminster. Istana Westminter adalah salah satu ikon kota London. Jam besar atau “Big Ben” yang terkenal itu adalah bagian dari bangunan istana ini. Mulanya istana yang dibangun pada 1099 ini adalah tempat tinggal raja dan ratu Inggris. Sekarang istana Westminster menjadi kantor parlemen. Tradisi sistem politik parlementer berlangsung ratusan tahun di gedung ini.
Sebelum memasuki ruang debat, semua barang-barang yang kami bawa harus dititipkan. Tidak diperkenankan membawa telepon selular atau tas. Kami menyaksikan acara debat dari atas balkon. Di bawah, wakil pemerintah berada di sisi kiri, sementara anggota Majelis Rendah berada di sisi kanan kami. Kedua belah pihak dipisahkan oleh sebuah meja di tengah. Tiga orang pencatat mengenakan rambut palsu khas tradisi kerajaan duduk di meja itu. Sementara, di ujung meja, pada kursi yang letaknya lebih tinggi, duduk pimpinan sidang.
Tak heran rapat kerja pemerintah dan parlemen ini disebut debat karena memang berlangsung seperti layaknya debat. Tapi, bukan debat kusir yang tidak memberikan kesempatan kepada lawan untuk berbicara. Pembicaraan berlangsung tanpa henti. Setiap orang berbicara dengan posisi berdiri. Setelah berbicara mereka kembali duduk. Setiap pertanyaan anggota parlemen langsung dijawab wakil pemerintah. Pertanyaan dan jawaban mengalir demikian cepat seolah setiap orang tidak memerlukan waktu untuk berpikir. Setiap orang berbicara dengan lantang dengan gaya orasi yang persuasif.
“Substantif ya pembicaraannya, topik dibahas dengan mendalam. Kalau di kita seringkali rapat kerja melenceng dari agenda dan ada yang suka marah-marah,” komentar Soemarjati Arjoso, Ketua BAKN.
Value for money
Siang itu, usai menyaksikan acara debat, kami kembali ke Portcullis House dan diterima oleh Bob Twigger, Secretary to the Public Accounts Committee dan Louise Sargent, Personal Assistant. Bob menjelaskan soal peran dan fungsi PAC dalam parlemen Kerajaan Inggris.