JAKARTA, KOMPAS.com — Majelis hakim di Mahkamah Agung dinilai telah khilaf dan keliru dalam menjatuhkan putusan kasasi terkait kasus Erwin Ardana, pemimpin majalah Playboy Indonesia. Majelis hakim seharusnya menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk mengadili Erwin, bukan dengan KUHP.
Demikian dikatakan Todung Mulya Lubis, penasihat hukum Erwin, saat membacakan memori peninjuan kembali (PK) terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (27/10/2010). Todung mengajukan PK atas putusan dua tahun penjara terhadap kliennya.
Dalam memori PK setebal 30 halaman, Todung menolak pertimbangan hukum MA atau judex juris yang menyebut bahwa UU Pers tidak mengatur penyebaran tulisan, gambar, benda yang melanggar kesusilaan. Padahal, kata dia, dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pers, pers diwajibkan menghormati norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat.
"Sanksi hukuman terhadap pelanggar telah ditetapkan dalam UU Pers, yaitu Pasal 18 ayat 2 dengan denda paling banyak Rp 500 juta," ungkapnya.
Todung menambahkan, MA keliru dan khilaf dengan hanya mempertimbangan saksi-saksi ahli dari jaksa penuntut umum atau JPU dan tidak mempertimbangkan fakta-fakta di persidangan. Selain itu, berdasarkan surat edaran MA Nomor 13 Tahun 2009 tentang meminta keterangan saksi ahli, judex juris seharusnya mempertimbangkan keterangan saksi ahli dari Dewan Pers.
Pada sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2007, pihak Erwin telah menghadirkan saksi ahli dari Dewan Pers, yakni Sabam Leo Batubara (anggota) dan Atmakusumah Astraatmadja (mantan ketua). Namun, kata Todung, MA mempertimbangkan saksi di luar Dewan Pers, yakni dari MUI dan ahli bahasa.
Seperti diberitakan, awalnya, PN Jaksel menolak dakwaan JPU pada 5 April 2007 lantaran JPU mendakwa dengan KUHP, bukan UU Pers. Atas putusan itu, JPU mengajukan banding. PT DKI Jakarta lalu menguatkan putusan PN Jaksel pada 22 Oktober 2008. JPU lalu mengajukan kasasi ke MA.
Akhirnya, MA mengabulkan permohonan JPU dan menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada Erwin. Salinan putusan itu baru diterima pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sekitar dua bulan lalu. Setelah diterima, Erwin dieksekusi dan kini mendekam di Lapas Cipinang, Jakarta Timur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.