JAKARTA, KOMPAS.com — Seorang mantan Senator Colorado, Amerika Serikat, Gary Hart, yang juga politisi Partai Demokrat, pada Pemilu Presiden AS tahun 1988, sempat menjadi calon presiden paling populer.
Namun, tak lama setelah pencalonannya, beredarlah sebuah foto "syur" Hart dengan seorang wanita seksi bernama Donna Rice. Padahal, Hart saat itu telah beristri. Hart tidak memedulikan beredarnya foto panas tersebut, dan tetap bersikeras maju sebagai calon presiden.
Tidak ada yang dapat menghalangi niat Hart tersebut. Maklum saja, undang-undang soal pilpres di AS memang tidak mensyaratkan bahwa capres harus tak bercacat moral. Namun, akhirnya pencalonan Hart kandas juga setelah rakyat berbalik menentangnya lantaran foto tersebut. Popularitasnya merosot tajam lantaran adanya invisible hand yang menyeleksi calon pemimpin.
Wacana mengenai tak bercacat moral dalam pilkada di Indonesia pun mengemuka baru-baru ini. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengajukan dua usulan revisi Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dua usulan tersebut adalah calon kepala daerah harus memiliki pengalaman di partai politik atau organisasi kemasyarakatan, dan juga tidak cacat moral.
Cacat moral di sini, misalnya, calon kepala daerah tidak pernah berzina, selain juga tidak pernah menjadi pemakai narkoba, berjudi, dan lainnya. Lantas, layakkah soal tidak cacat moral ini dijadikan syarat bagi seseorang yang hendak bertarung memperebutkan jabatan kepala daerah?
Konsultan politik Denny JA mengatakan, soal syarat tidak cacat moral mustahil memenuhi unsur penting dalam hukum, yaitu equality before the law atau kesamaan kedudukan warga negara di depan hukum. "Bagaimana warga negara bisa diukur dan dipilah antara yang pernah berzina dan yang tidak pernah?" ujarnya kepada para wartawan, Jumat (23/4/2010) di Jakarta.
Calon yang tidak terpublikasi pernah berzina, katanya, belum tentu benar-benar tidak pernah berzina. Bisa saja, mereka yang disebut-sebut tidak pernah berzina merupakan orang yang pandai menutupi "aib" nya. Sementara itu, calon yang diisukan pernah berzina perlu pembuktian fakta yang kuat. "Kesamaan perlakuan hukum terhadap calon sulit terpenuhi dalam syarat ini," tegasnya.
Dikatakannya, biarkan urusan syarat tidak cacat moral ini menjadi tugas partai politik yang menyeleksinya. Selain parpol, masih ada peran media massa dan masyarakat. "Demokrasi mempunyai cara sendiri untuk menyeleksi pemimpinnya, yaitu melalui 'tangan masyarakat'," katanya.
"Pemerintah tak perlu menambah syarat tak cacat moral dalam undang-undang karena itu akan membatasi hak warga menjadi pemimpin. Lepaskan saja hal itu ke publik. Publik mampu menyeleksi pemimpin," tukasnya.
Ditambahkannya, kasus Gary Hart adalah contoh baik untuk berdemokrasi. Sementara itu, Gamawan Fauzi, ketika menanggapi komentar Denny, mengatakan, kondisi Indonesia dan AS tidak bisa disamakan. Masyarakat AS dinilai lebih matang dalam memilih calon pemimpinnya.
"Rata-rata warga AS mengenyam pendidikan selama 18 tahun, sementara warga Indonesia tujuh tahun. Di AS, masyarakat yang membaca koran lebih dari 100 persen karena mereka bisa membaca lebih dari dua media dalam sehari. Di Indonesia, jumlah orang yang membawa koran hanya lima persen," ujarnya.
Dikatakannya, masyarakat Indonesia belum cukup matang dalam menentukan calon pemimpinnya. "Di sini peran pemerintah diperlukan," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.