Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Denden Deni Hendri
Komisi Pemilihan Umum Prov. Jabar

Analis Pemilu dan Kebijakan Publik

Menakar Kualitas Penyelenggaraan Pilkada

Kompas.com - 06/03/2017, 07:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

Pilkada serentak 15 Februari 2017 yang lalu telah selesai diselenggarakan. Pilkada tersebut merupakan gelombang kedua setelah pilkada Desember 2015 dan sebelum penyelenggaraan pilkada gelombang ketiga pada Juni 2018.

Sejumlah pertanyaan mendasar diajukan tentang bagaimanakah menakar kualitas suatu penyelenggaraan pilkada.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu harus menelusuri perubahan UU Pilkada dari waktu ke waktu sebagai perwujudan keseriusan para formulator kebijakan di DPR dalam memperbaiki kualitas pilkada, pengembangan demokrasi lokal, desentralisasi kekuasaan, dan otonomi daerah.

Perubahan UU Pilkada merupakan cerminan dan penyesuaian terhadap kondisi sosiopolitik yang menaungi dan menyertai penyelenggaraan pilkada.

Sesekali UU tersebut berubah karena desakan ruang publik dan kerap kali karena adanya judicial review atas UU Pilkada maupun akibat adanya putusan Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP).

Dalam kerangka perubahan kebijakan tersebut, sedikitnya terdapat beberapa aktor kebijakan yang ikut serta mereformulasi kebijakan pilkada, yaitu DPR, Mahkamah Konstitusi, dan apa yang disebut oleh Hardiman (1993) dan Habermas (dalam McCharty, 2006) sebagai ruang publik.

Semenjak angin reformasi berembus dan amandemen kontitusi mewujud, formulasi suatu kebijakan tidak berjalan secara linear dalam suatu keteraturan yang biasa dikenal oleh para ahli kebijakan publik dengan istilah siklus kebijakan (policy cycle) atau dalam terminologi Parsons (2014) dikenal sebagai proses kebijakan (policy process) yaitu (1) tahapan formulasi kebijakan, (2) implementasi kebijakan dan (3) tahapan evaluasi kebijakan.

Dalam konteks formulasi kebijakan pilkada, kebijakan yang telah diundangkan oleh DPR tidak serta-merta terimplementasi, namun mengalami tahapan evaluasi kritis dari ruang publik yang mendorong untuk melalukan judicial review ke mahkamah.

Menariknya, mahkamah yang diberikan kewenangan oleh UU No 24/2003 juncto UU No 8/2011 tentang Mahkamah Konstitusi kerap kali menggunakan kewenangan ultrapetita untuk memutus perkara melebihi apa yang dimohonkan dalam petitum dan kemudian ikut serta mereformulasi suatu norma dalam UU pilkada.

Dengan begitu, formulasi suatu kebijakan tidak berjalan secara linear mengikuti siklus kebijakan yang dimaksudkan di atas, tetapi mengalami reformulasi berulang dari lembaga yudikatif sebagai representasi kepentingan ruang publik dalam struktur ketatanegaraan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com