Oleh: Bahruddin
Bangsa Indonesia sedang mengalami ujian berat sebagai bangsa majemuk dalam kerangka "Bhinneka Tunggal Ika".
Indonesia sebagai identitas pemersatu sedang dicabik-cabik oleh golongan tertentu. Bentuk yang nyata adalah kontestasi identitas (agama dan ras) yang tidak hanya terjadi di Ibu Kota, tetapi juga menjalar ke sejumlah wilayah lain. Di Yogyakarta, seorang camat beragama minoritas ditolak kelompok masyarakat agama mayoritas.
Ketegangan antaridentitas terus menggoyang "Bhinneka Tunggal Ika" dengan mempersoalkan keadilan negara untuk memutuskan siapa yang menjadi pelanggar regulasi, bukan keadilan untuk mendapatkan penghidupan yang layak dari sisi ekonomi ataupun sosial.
Kasus Ahok menjadi contoh paling hangat adanya kontestasi antarpihak dalam mendefinisikan ketidakpatuhan (non-compliance). Upaya negara untuk menggunakan sistem peradilan terbuka terus dirongrong dengan kelompok pembawa massa untuk mendesak negara mengikuti definisi yang dianutnya.
Paradigma regulatory pluralism rupanya telah menjadi bagian dari hubungan antara negara dan masyarakat dalam mendefinisikan kepatuhan (compliance) dan ketidakpatuhan (non-compliance). Pertanyaannya, apakah regulatory pluralism akan membawa kebermanfaatan bagi bangsa Indonesia atau sebaliknya?
Regulator plural
Paradigma Regulatory pluralism merupakan cara pandang yang menggambarkan negara tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam mendefinisikan kepatuhan dan ketidakpatuhan (Gunningham et al 1998). Adanya multiaktor ini bisa dimaknai dalam dua perspektif yang bertolak belakang.
Perspektif positif meyakini bahwa regulatory pluralism merupakan cerminan positif dari sistem politik demokrasi. Kebebasan berpendapat dalam praktik demokrasi telah membangun budaya kritis masyarakat sipil dalam membaca pengelolaan regulasi di tingkat negara, dari desain hingga penegakan regulasi.
Pada tahapan desain, masyarakat sipil turut aktif mendefinisikan berbagai konsep dalam regulasi. Partisipasi ini memungkinkan lahirnya regulasi yang kontekstual terhadap nilai, norma, dan budaya yang menjadi konteks regulasi.
Pada tataran penegakan, masyarakat sangat aktif melaporkan berbagai pelanggaran regulasi yang tidak diketahui negara. Inilah kolaborasi ideal negara dan masyarakat dalam menciptakan likelihood of detection yang menjadi pilar penting dalam penciptaan kepatuhan publik.
Namun, paradigma regulatory pluralism juga menyimpan potensi negatif yang kontradiktif dengan tujuan-tujuan regulasi. Pertama, kontestasi anarkis merupakan dampak paling ditakutkan dalam regulatory pluralism. Setiap pihak yang berkepentingan terhadap regulasi memaksakan perspektifnya dalam mendefinisikan kepatuhan dan ketidakpatuhan, termasuk dengan memobilisasi massa.
Kedua, regulatory pluralism bisa mengancam demokrasi. Apabila negara "mengamini" salah satu perspektif pasca pergerakan massa, akan tumbuh keyakinan people power dalam upaya penegakan regulasi. Keyakinan ini bertolak belakang dengan esensi demokrasi di mana kaum minoritas perlu dilindungi dalam pengelolaan regulasi.
Ketiga, setiap kelompok masyarakat meyakini dirinya legal untuk mendefinisikan ketidakpatuhan dan bertindak berdasarkan keyakinannya. Kontestasi antar- kelompok tidak hanya pada tataran argumentasi untuk membangun definisi konseptual atas kepatuhan dan ketidakpatuhan, tetapi sudah diterjemahkan dalam aksi-aksi jalanan. "Main hakim sendiri" merupakan cerminan paling nyata dari dampak regulatory pluralism yang tidak terkendali.
Regulasi cerdas