JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pegiat antikorupsi dan pengamat lembaga peradilan berpendapat, tertangkapnya hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar oleh KPK harus menjadi momentum pembenahan sistem rekrutmen hakim konstitusi.
Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan ICW Tama S. Langkun mengatakan, selama ini rekrutmen hakim MK cenderung tertutup dan tidak transparan.
Selain itu proses rekrutmen juga tidak melibatkan masyarakat sipil sebagai pengawas, pemantau dan pemberi masukan dalam proses seleksi.
Tertutupnya proses rekrutmen, kata Tama, biasanya terjadi di level pemerintah dan Mahkamah Agung.
(Baca: Penyuap Patrialis Ingin Uji Materi Dikabulkan MK agar Bisa Jualan Lagi)
Akibatnya, pemilihan calon hakim konstitusi berpotensi memunculkan sosok dengan rekam jejak yang buruk.
"Selama ini proses rekrutmen tidak transparan. Pemilihan oleh pemerintah dan MA tidak bisa dilihat prosesnya. Kalau di DPR sudah lebih terbuka. Menurut saya korupsi terjadi karena proses rekrutmen yang tertutup," ujar Tama saat memberikan keterangan di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (27/1/2017).
Menurut Tama, latar belakang politik seorang hakim konstitusi tidak menjadi faktor keterlibatannya atas kasus korupsi.
Dia menuturkan bahwa seorang hakim dengan latar belakang politisi bisa saja didukung oleh masyarakat jika diketahui melalui rekam jejak yang baik dan pandangan negarawan.
"Ada persoalan terkait integritas dan etika dari persoalan rekrutmen. Yang penting adalah negarawan tidak bermasalah jika dari unsur politisi," ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama, Veri Junaidi dari KoDe Inisiatif mengatakan, saat ini rekrutmen yang tertutup menjadi satu masalah yang harus diselesaikan.
(Baca: Mantan Hakim MK: Patrialis Menanggung Beban Kepercayaan SBY)
Menurut Veri jika sistem rekrutmen tidak diubah maka MK akan terus diisi oleh hakim-hakim yang bermasalah.
Dia mencontohkan perekrutan Akil Mochtar, hakim MK yang tersangkut kasus korupsi, dilakukan secara tertutup.
Begitu juga dengan pengangkatan Patrialis Akbar oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keppres Nomor 87/P Tahun 2013.
Patrialis Akbar kemudian disangka menerima suap sebesar Rp 2,15 miliar dari importir daging. Suap tersebut terkait uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang tengah ditangani MK.
"Problemnya terkait rekrutmen yang tertutup. Akil Mochtar saat itu juga tertutup. Sementara Patrialis diangkat begitu saja oleh SBY. Jika tidak diubah akan menghasilkan hakim yang bermasalah. Harus ada pembenahan mekanise dari MA, Presiden dan DPR," kata Veri.
Hal senada juga diungkapkan oleh dosen hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Fritz Siregar.