SEBUAH kota bernama Ur di Kan’an (kini berlokasi di Kosaria, Irak), adalah saksi kelahiran seorang pemuda gagah berani, perkasa, dan kelak menjadi Khalilullah (Sahabat Allah).
Pemuda itu kita kenal sebagai Ibrahim 'alaihissalam. Bapak para nabi dan rasul. Salah seorang patriarkh utama Bani Israil yang dicatat al-Quran.
Nama Ibrahim adalah penanda betapa ia manusia mulia. Kata ib sejajar dengan kata aba dalam bahasa Arab, yang artinya ayah. Sedang rahim berarti penyayang. Ibrahim di zamannya, memang terkenal sebagai penyayang umat manusia.
Ia adalah manusia pertama yang memiliki kebiasaan menjamu para tamu. Bahkan dalam keseharian, ia tak bisa makan jika tidak bersama orang lain yang diundangnya ke rumah.
Keunikan tabiat ini yang kelak membuat Ibrahim gelisah akan keyakinan manusia sezamannya yang hidup sengsara di bawah tekanan raja Namruth.
Setelah melakukan proses pencarian diri melalui alam yang membentang di hadapannya, Ibrahim pun meyakini bahwa Tuhan yang saat itu diejawantahkan bangsa Kan’an sebagai patung-patung besar, bintang al-Zahra, bulan, dan matahari, dibantah Ibrahim. Azar ayahnya pun ia nafikan. Sebab menjadikan Tuhan sebagai berhala.
Sejak itulah ia diangkat sebagai nabi dan rasul oleh Allah. Maka ia bersumpah akan menghancurkan apa pun yang membawa umatnya pada kesesatan—termasuk patung-patung besar yang kadung dipuja-puji itu.
Ibrahim mulai dimusuhi banyak orang. Termasuk Namruth yang kemudian murka mengetahui aksinya. Ia dianggap gila. Bahkan pantas dilenyapkan dari muka dunia.
Namruth memerintahkan penangkapan Ibrahim. Lalu ia dilemparkan ke dalam gemuruh api yang berkobar. Ajaib. Tuhan menyelamatkan nabi-Nya. Saksi mata yang hadir saat itu takjub. Tanpa tedeng aling-aling, mereka pun beralih memercayai Ibrahim.
Sumpah yang digaungkannya sekitar 4000 tahun lalu itu, terus menggema hingga ke masa berikutnya.
Adalah Musa, sosok nabi lain yang melanjutkan kiprah Ibrahim melawan tirani kebodohan keyakinan dan pikiran bangsanya. Jika Ibrahim berhadapan dengan Namruth, maka Musa beradu dengan Fir’aun, raja lalim bangsa Mesir kuno.
Sumpah Musa juga berdampak serius pada hidupnya. Ia dikejar-kejar Fir’aun dan bala tentaranya, karena membebaskan ribuan umat Yahudi dari perbudakan.
Setelah sebelumnya dianggap aneh, gila, penyihir, akhirnya Musa beroleh kepercayaan penuh sebagai pemimpin umat yang sejati. Ia tampil di depan. Ditemani Harun, saudaranya tercinta.
Torah (Taurat dalam terminologi Islam), mencatat nama Musa sebagai patriarkh berikutnya setelah Ibrahim. Ia tampil di panggung sejarah, sebagai seorang manusia berdedikasi tinggi pada kehidupan.
Berturutan secara periodik setelah Musa, ada Isa, dan Muhammad Saw. Nabi yang terakhir itu, adalah nabi era kita. Begitu yang diyakini Karen Armstrong dalam Muhammad: A Prophet for Our Time (2007). Dua dekade perjuangannya, termasuk yang tersingkat dalam sejarah perubahan dunia.