JAKARTA, KOMPAS.com - Bareskrim Polri merampungkan empat berkas perkara dengan tujuh tersangka vaksin palsu yang dikenakan pasal pencucian uang.
Berkas tersebut kemudian diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk diteliti.
"Untuk pencucian uang, tujuh tersangka kami masukkan dalam empat berkas," ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Setya di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Selasa (30/8/2016).
Agung mengatakan, sebelumnya penyidik telah menyerahkan empat berkas penyidikan yang mencakup 25 tersangka. Namun, jaksa pemeriksa menganggap berkasnya kurang lengkap sehingga dikembalikan lagi ke Polri.
Penyidik pun melengkapi berkas sesuai arahan dari jaksa. Saat diserahkan kembali ke Kejaksaan Agung, yang semula tercakup dalam empat berkas, kini dipecah menjadi 23 berkas untuk 25 tersangka.
"Dalam hal ini terkait persangkaan undang-undang kesehatan dan undang-undang konsumen," kata Agung.
Adapun tujuh tersangka yang dikenakan pasal pencucian uang yakni mereka yang berlakon sebagai produsen.
Mereka adalah pasangan suami istri Syafrizal dan Iin Suliastri, pasangan Agustina dan Hidayat Abdurrahman, Nuraini, serta Agus Priyanto.
Namun, Agung belum dapat memastikan nilai pencucian uang mereka. (Baca: Produsen Vaksin Palsu Dikenakan Pasal Pencucian Uang)
Adapun yang disita dari para tersangka pencucian uang yaitu satu rumah, satu unit ruko, empat mobil, 10 sepeda motor, dan pemblokiran rekening.
"Saya belum bisa menilai barang-barang berharganya karena banyak harta tidak bergeraknya," kata Agung.
Penyidik sebelumnya telah memblokir 16 rekening dari sejumlah tersangka kasus ini. Pemblokiran dilakukan untuk melihat adanya transaksi mencurigakan terkait vaksin palsu.
Sebanyak 25 tersangka terdiri dari produsen, distributor, pengumpul botol, pencetak label vaksin, bidan, dan dokter.
Mereka dibagi ke dalam empat berkas untuk memudahkan dalam penuntutan dan persidangan.
(Baca: Dari 25 Tersangka Vaksin Palsu, Tiga Orang Tak Ditahan)
Sejauh ini, penyidik telah memeriksa puluhan saksi dari berbagai pihak, mulai dari distributor vaksin, perawat, hingga dokter.
Penyidik juga telah mendengar keterangan dari tujuh ahli pidana, ahli perlindungan konsumen, dan juga dari Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan.