JAKARTA, KOMPAS.com - Menurunnya jumlah anggaran yang diterima setiap lembaga penegak hukum, bisa jadi salah satu sebab menurunnya kinerja penanganan perkara di masing-masing lembaga.
Meski demikian, persoalan anggaran tersebut dinilai bukan alasan untuk membandingkan kinerja antarlembaga.
"Alokasi anggaran per kasus/perkara tidak terlalu berbeda antara KPK, Kejaksaan dan Polri," ujar staf Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah di Sekretariat ICW, Jakarta, Minggu (28/8/2016).
Menurut data ICW, biaya penanganan satu perkara korupsi di kejaksaan sebesar Rp 200 juta.
Jika dirinci, jumlah tersebut digunakan sebesar Rp 25 juta di tahap penyelidikan, Rp50 juta di tahap penyidikan, Rp 100 juta di tahap penuntutan, dan Rp 25 juta saat eksekusi putusan.
Sementara, di kepolisian, biaya penanganan satu perkara korupsi sebesar Rp 208 juta. Biaya tersebut digunakan hanya pada saat penyelidikan hingga penyidikan.
Sedangkan, biaya penanganan satu perkara di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diperkirakan hanya sebesar Rp 141 juta.
Adapun, KPK menggunakan pagu anggaran sebesar Rp 12 miliar, yang diproyeksikan dapat menangani 85 perkara.
Berdasarkan pemantauan ICW sejak periode semester I tahun 2010 hingga semester I tahun 2016, kinerja lembaga penegak hukum dalam kasus korupsi cenderung menurun.
Penurunan terjadi pada sisi nilai kerugian negara, sementara jumlah tersangka cenderung stagnan.
Menurut Wana, salah satu penyebab penurunan kinerja lembaga penegak hukum diduga akibat adanya pemotongan anggaran penindakan di setiap lembaga penegak hukum.
Sementara itu, terkait jumlah penanganan yang berbeda-beda, menurut Wana, bukan disebabkan oleh perbedaan jumlah anggaran. Namun, bisa jadi hal itu diakibatkan perbedaan kompetensi penyidik.
"Hal itu bisa diperbaiki dengan mendorong agar KPK, Kepolisian dan Kejaksaan meningkatkan supervisi dan koordinasi," kata Wana.