JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo menegaskan, Undang-Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty yang baru disetujui DPR RI bukan berarti pengampunan bagi koruptor.
"Tax Amnesty bukan upaya pengampunan bagi koruptor atau pemutihan terhadap pencucian uang. Tidak," ujar Jokowi di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (1/7/2016).
"Yang kami inginkan adalah, yang kami sasar adalah pengusaha yang menempatkan hartanya di luar negeri, khususnya negara tax haven," lanjut dia.
Pemerintah, lanjut Jokowi, ingin uang pengusaha yang berada di luar negeri dan direpatriasi melalui mekanisme di UU itu dapat bermanfaat bagi kepentingan rakyat, bukan perusahaan atau orang perorang.
(Baca: Undang-undang "Tax Amnesty" Disahkan DPR, Waktunya Pengusaha "Minta Ampun")
Jokowi mengatakan, negara sangat membutuhkan dana untuk pembangunan infrastruktur. Ia menyebut, sampai akhir masa jabatan sebagai Presiden 2019 mendatang, pembangunan itu membutuhkan dana sebesar Rp 4.900 triliun.
Dari perkiraan jumlah tersebut, APBN tak bisa mengakomodasi seluruhnya. Bahkan, APBN tidak dapat mengakomodasi setengah dari itu.
"Maka itu, saya sudah minta kementerian agar disiapkan sehingga peluang itu betul-betul bisa dimanfaatkan. Uang-uang yang masuk ke negara kita (melalui Tax Amnesty) betul-betul bisa dimanfaatkan," ujar Jokowi.
(Baca: Mudahkan Pemohon, Ditjen Pajak Buka Pelayanan "Tax Amnesty" di Tiga Negara)
Jokowi pun mengajak pengusaha membawa kembali uangnya ke Indonesia. Ia meyakini, pengusaha tidak perlu waswas akan dikenakan sanksi pidana atau administrasi lantaran UU Tax Amnesty menjamin hal itu.
Jokowi juga memastikan, setelah UU Tax Amnesty diketok, pemerintah akan menindaklanjutinya dengan merevisi sejumlah UU, yakni UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Pajak Pertambahan Nilai, dan UU Pajak Penghasilan.