JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung M. Prasetyo menyatakan pihak kejaksaan tetap akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa jaksa tak bisa mengajukan PK.
Prasetyo mengatakan ada sumber hukum lain yang bisa dijadikan dasar pengajuan PK oleh jaksa meski putusan MK meniadakannya.
"PK masih bisa kami lakukan dengan dasar yurisprudensi, itu merupakan dasar hukum yang jelas dan juga layak dipertimbangkan," ujar Prasetyo saat diwawancarai di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/6/2016).
Prasetyo menambahkan, putusan MK yang menyatakan jaksa tak bisa mengajukan PK hanya menjawab uji materi seorang istri dari buron perkara korupsi, Djoko Tjandra.
(Baca: Menangkan Permohonan Istri Djoko Tjandra, MK Nyatakan Jaksa Tak Boleh Ajukan PK)
"Kami ke depan akan tetap mengajukan PK untuk hal yang dirasa perlu. Jaksa mewakili kepentingan korban kejahatan, masyarakat dan negara ini. Kami ingin keseimbangan bagi pencari keadilan," lanjut Prasetyo.
"Ketika saya telepon langsung MK latar belakang melarang jaksa mengajukan PK, konon pertimbangannya adalah untuk melindungi kepentingan terpidana," kata Prasetyo lagi.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra. Anna memohon uji materi Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
(Baca: Jaksa Tak Boleh Ajukan PK, Pimpinan KPK Minta MK Peka terhadap Kasus Korupsi)
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
"Mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan pemohon bahwa Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo," demikian kutipan putusan majelis hakim MK seperti dilansir dari laman mahkamahkonstitusi.go.id, Senin (16/5/2016).
Sebagian kalangan menilai putusan ini bertentangan dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.