JAKARTA, KOMPAS.com — Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan peninjauan kembali atas perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai, putusan tersebut justru membawa "angin segar" bagi para pelaku kejahatan, khususnya untuk tindak pidana korupsi.
Mereka yang melakukan korupsi, tetapi dianggap tidak terbukti, bisa bebas.
"Putusan itu memberi peluang besar bagi kebebasan koruptor. Pada dasarnya, kedudukan dua pihak yang berperkara di pengadilan mempunyai hak yang sama, termasuk hak mengajukan upaya hukum PK," ujar Fickar saat dihubungi, Selasa (17/5/2016).
Fickar mengatakan, sistem hukum yang dianut di Indonesia mengarah pada hukum sipil, dengan kedudukan para pihak dibuat tidak seimbang.
Dalam sebuah kasus, jaksa mewakili negara melawan terdakwa yang merupakan warga negara.
Menurut dia, MK kemudian mendudukkan jaksa sebagai fungsi negara yang kedudukannya tidak seimbang dengan terdakwa.
Ia menduga, pemahaman seperti itu yang menjadi dasar hakim MK memutuskan untuk tidak lagi memberikan hak kepada jaksa untuk mengajukan PK.
"Seharusnya, kita tidak lagi harus mengaitkan pada sistem hukum yang dianut, tetapi khususnya perkara pidana tujuannya mencari kebenaran materiil," kata Fickar.
Menurut Fickar, ada inkonsistensi MK dalam membuat putusan.
Pada satu sisi, MK menempatkan kebebasan adanya upaya hukum tanpa batas waktu. Di sisi lain, MK juga membatasi hak penuntut umum yang mencari keadilan.
Ia menilai, bisa saja kejaksaan memohonkan uji materi terhadap Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
"Jaksa punya legal standing dan boleh mengajukan uji materi lagi karena dia pihak yang berkepentingan," kata Fickar.
Permohonan uji materi yang dikabulkan MK itu dilakukan oleh Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra. Pasal 263 ayat (1) berbunyi, "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung".
Dalam putusannya, menurut majelis, dalam pasal tersebut sudah jelas bahwa yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, tidak termasuk jaksa.