JAKARTA, KOMPAS.com - Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang menegaskan bahwa jaksa tidak dapat mengajukan peninjauan kembali (PK) dinilai kemunduran, terutama dalam putusan-putusan pemberantasan korupsi.
Hal tersebut disampaikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra mengatakan, di Jakarta, Rabu (18/5/2016).
"Saya rasa ini adalah kemunduran terutama dikaitkan dengan putusan-putusan pemberantasan korupsi," kata dia.
Menurut dia, seharusnya MK memberikan ruang bagi jaksa mengajukan PK pada ruang-ruang tertentu, minimal satu kali. Jika jaksa sudah mengajukan PK sekali, maka hak PK-nya hilang.
(baca: Putuskan Jaksa Tak Boleh Ajukan PK, MK Dianggap Abaikan Hak Korban Mencari Keadilan)
"Itu lebih akomodatif dibanding putusan yang melarang sama sekali untuk pengajuan PK," ujarnya.
"Kan harusnya jika jaksa tidak setuju, maka jaksa masih ada ruang untuk PK. Kalau sudah sampai kasasi selesai sudah," kata Saldi.
MK sebelumnya mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra.
(baca: Menangkan Permohonan Istri Djoko Tjandra, MK Nyatakan Jaksa Tak Boleh Ajukan PK)
Anna memohon uji materi Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 263 ayat (1) yang digugat itu berbunyi, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung”.
Menurut majelis, dalam pasal tersebut sudah jelas bahwa yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, tidak termasuk jaksa. (baca: Jaksa Tak Boleh Ajukan PK, "Angin Segar" untuk Koruptor)
Dalam pertimbangannya, majelis menganggap bahwa dalam praktik, kerap terjadi kesalahan dalam penjatuhan putusan karena kekeliruan fakta hukumnya ataupun hukumnya sendiri.
Kesalahan dalam penjatuhan putusan ini dapat merugikan terpidana maupun masyarakat pencari keadilan dan negara. Terhadap kesalahan itu, Jaksa masih bisa melakukan upaya hukum biasa yaitu banding dan kasasi.
Namun, terhadap putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, hanya ada dua upaya hukum luar biasa, yakni kasasi demi kepentingan hukum oleh jaksa atau PK yang merupakan hak terpidana maupun ahli warisnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.