JAKARTA, KOMPAS.com — Sekjen Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo tak harus hadir dalam sidang gugatan yang diajukan Ketua Umum PPP hasil Muktamar Jakarta Djan Faridz di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Dalam PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) tentang Mediasi disebutkan bagi pejabat negara yang sedang melaksanakan tugas negara memang tidak harus hadir langsung," kata Arsul saat dihubungi, Rabu (27/4/2016).
Arsul mengakui, Pasal 6 ayat (1) peraturan Mahkamah Agung Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 menyebutkan bahwa para pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum.
Namun, dalam Pasal 6 ayat (4) disebutkan, para pihak bisa diwakili kuasa hukum apabila menjalankan tugas negara, tuntutan profesi, atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan. (Baca: Pengacara Djan: Masa Presiden Tak Beriktikad Baik? Sangat Memalukan)
Menurut Arsul, Djan Faridz sebaiknya tidak memaksakan kehadiran Jokowi. Kehadiran pemerintah sebagai pihak tergugat cukup diwakili jaksa pengacara negara (JPN) dari Kejaksaan Agung.
"Pengacara Djan Faridz tidak baca Perma atau mau menyesatkan publik," ucap anggota Komisi III DPR ini.
Ketidakhadiran Jokowi dalam proses mediasi ini sebelumnya membuat sidang gugatan Djan Faridz di PN Jakpus diwarnai keributan. (Baca: Proses Mediasi PPP-Pemerintah Diwarnai Keributan)
Dalam agenda mediasi hari ini, Presiden tidak hadir. Pihak Djan bersikeras bahwa Presiden harus hadir langsung dalam proses mediasi itu.
Pihak Sekretariat Negara, kata Djan, menyatakan bahwa mediasi yang akan dilakukan percuma. Pasalnya, sudah ada muktamar islah yang digelar di Asrama Haji, Jakarta Timur.
Muktamar itu memutuskan Romahurmuziy sebagai Ketua Umum PPP. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga sudah mengesahkan kepengurusan PPP yang dipimpin Romahurmuziy.
Meski gagal, PN Jakpus selaku mediator tetap memberikan kesempatan agar kedua belah pihak dapat saling berdamai.
Gugatan yang sebelumnya diajukan Djan pun dapat gugur apabila telah diambil kesepakatan bersama antara pemerintah dan pihaknya.
Djan menggugat pemerintah lantaran tidak mengesahkan kepengurusan PPP hasil Muktamar Jakarta sesuai putusan Mahkamah Agung.