JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, mengusulkan dibentuknya sebuah badan pengawasan independen apabila masa penangkapan dan penahanan dalam revisi Undang-Undang Antiterorisme jadi diperpanjang.
Arsul mengatakan bahwa dirinya tidak keberatan jika ketentuan masa penahanan terduga teroris diperpanjang. Namun, itu harus diimbangi dengan mekanisme pengawasan oleh badan pengawas yang independen.
Mekanisme tersebut penting untuk diatur dalam revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 itu agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam menangkap dan menahan oleh aparat penegak hukum.
Arsul pun menilai, perpanjangan masa penangkapan dan penahanan tersebut rentan dengan pelanggaran hak asasi manusia.
"Ini yang kami harapkan. Kalau misalnya ada perpanjangan masa penahanan maka harus diimbangi dengan mekanisme pengawasan atas penggunaan kewenangan itu," kata Arsul saat ditemui di kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (20/4/2016).
"Tentu PPP akan minta mekanisme itu dirumuskan dalam UU Antiterorisme," ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, di Inggris kewenangan penangkapan oleh kepolisian mencapai 48 jam dan bisa diperjanjang hingga 28 hari. Sedangkan di Indonesia hanya 1x24 jam.
Namun, sistem hukum Inggris mensyaratkan adanya independent reviewer yang tugasnya mengawasi proses penangkapan dan penahanan seseorang.
Menurut penuturan Arsul, aparat penegak hukum wajib melapor kepada independent reviewer jika akan melakukan masa penahanan atas seseorang.
Selain itu, independent reviewer juga bertugas melakukan pengkajian atas waktu yang bisa digunakan oleh penegak hukum atas penahanan seseorang.
"Yang perlu di-review adalah keperluan untuk memperpanjangnya. Apakah masih perlu diperpanjang atau tidak dan mengapa perlu diperpanjang. Penegak hukumnya itu harus melapor ke independent reviewer-nya," kata Arsul.