Ia pun mencontohkan mengenai persoalan penyadapan. Mahkamah Konstitusi, kata dia, sebelumnya telah menegaskan jika penyadapan yang dilakukan penegak hukum perlu mengedepankan aspek hak asasi manusia. Sebab, penyadapan menyangkut mengenai persoalan privasi seseorang.
"Jadi harus diatur sesuai dengan UU. Enggak boleh lho, pengaturannya di bawah tingkatan undang-undang. Kita ini kan negara hukum, bagaimana pengaturannya perlu kita bicarakan. Jangan suudzon terus," kata Yasonna di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin (22/2/2016).
(Baca: Soal Revisi UU, Menkumham Minta Ketua KPK Jangan seperti Mau Kiamat)
Wewenang penyadapan sebelumnya sempat menjadi polemik di dalam draf revisi UU KPK. Sebab, penyidik perlu mendapatkan izin dari dewan pengawas untuk melakukan penyadapan. Hal itu sesuai dengan bunyi Pasal 37 D draf RUU KPK.
Sementara itu, dewan pengawas merupakan lembaga baru yang diusulkan untuk mengawasi kinerja komisioner. Selain memberikan izin penyadapan, dewan pengawas juga berwenang untuk memberikan izin penyitaan dan menyusun kode etik komisioner.
KPK perlu pengawas
Menurut Yasonna, keberadaan dewan pengawas penting. Sebab, KPK merupakan lembaga superbody yang memerlukan pengawasan agar tidak melakukan penyimpangan dalam menjalankan tugasnya.
"Di mana pun di negara modern, check and balances itu ada. Tidak boleh ada suatu kekuasaan tanpa kontrol. Itu prinsipnya," ujarnya.
(Baca: Revisi UU KPK, Ketua KPK Siap Mundur)
Meski demikian, ia mengatakan, tugas dan wewenang dewan pengawas perlu diatur sedemikian rupa. Hal ini diperlukan untuk menghindari adanya pelemahan terhadap komisioner KPK dalam menjalankan tugas.
"Ke depan, pengawasan itu harus ada. Itu prinsipnya. Posisinya harus kita lihat juga, agar dua-duanya lebih baik, bukan melemahkan," tegasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.