JAKARTA, KOMPAS.com - Substansi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dinilai mengancam kebebasan berekspresi di internet. UU itu disahkan sejak Maret 2008.
Substansi Pasal 27 ayat 3 UU mengenai pencemaran nama baik dianggap sebagai pasal karet yang berpotensi mengkriminalisasi siapa saja.
Manajer Program Yayasan Satu Dunia, Anwari Natari, mengatakan, DPR dan pemerintah harus segera menghapus pasal mengenai pencemaran nama baik itu dengan merevisi UU ITE.
Pasal 27 ayat 3 itu berbunyi "Setiap orang denga sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Menurut Anwari, sampai saat ini sudah 138 orang yang dijerat dengan pasal tersebut. Angka orang yang terjerat pasal karet itu terus meningkat setiap tahun.
Pasal tersebut dianggap bermasalah karena tidak memuat definisi yang jelas mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik.
"Pasal 27 ayat 3 jelas menghambat proses demokrasi di Indonesia. Faktanya banyak orang yang ketakutan untuk mengkritik atau berpendapat melalui internet," ujar Anwari dalam diskusi revisi UU ITE di Jakarta, Kamis (18/2/2016).
Dengan ketidakjelasan definisi pencemaran nama baik, menurut Anwari, setiap orang mudah dipidanakan menggunakan pasal 27 ayat 3.
"Soal kasus pencemaran nama baik kan sebenarnya sudah diatur dalam pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana," kata dia.
Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia Rudiantara pada awal tahun 2015 pernah menyampaikan niat untuk merevisi UU ITE. Perubahan yang ingin dilakukan tidak banyak, hanya pada Pasal 27 ayat 3 saja.
Inti perubahan tersebut adalah mengurangi tuntutan masa hukuman, dari 6 tahun penjara menjadi 4 tahun saja. Dan dengan demikian orang yang dituntut dengan pasal tersebut tidak akan ditahan sebelum tuntutan diproses.