JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menilai, kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait kontrak PT Freeport Indonesia ibarat sebuah sinetron.
Ia berharap, penyelesaian kasus yang berlangsung di Mahkamah Kehormatan Dewan tidak mengaburkan kepentingan agar Indonesia mendapatkan manfaat besar dari pengelolaan tambang Freeport.
"Ini bagaikan sinetron, pertentangan antar-geng yang berebut saham, berebut daging, apalah, kue," kata Rizal di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (3/12/2015).
Rizal menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo telah memberikan sejumlah syarat jika Freeport ingin mendapat perpanjangan kontrak karya. (Baca: Sikapi Isi Rekaman, JK Sebut Tragis, Congkak, dan Ada Upaya Rugikan Negara)
Syarat-syarat tersebut adalah pembaruan terhadap pembagian royalti, pembangunan smelter, divestasi, dan pembangunan Papua, termasuk memperbaiki pengolahan limbah. (Baca: JK Sebut Orang-orang yang Ada di Rekaman Freeport Serakah)
"Kuncinya, dari perdebatan ini, rakyat Indonesia dapat lebih baik apa, enggak? Dari perdebatan yang seru, kita jangan lupa arahnya," kata Rizal.
Kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden yang menyeret Ketua DPR Setya Novanto tengah disidangkan oleh MKD. (Baca: Ini Transkrip Lengkap Rekaman Kasus Setya Novanto)
Dalam sidang tersebut, rekaman pembicaraan yang diduga melibatkan Setya, pengusaha Riza Chalid, dan bos PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsuddin, juga diputar.
Dari rekaman itu diketahui ada percakapan terkait perpanjangan kontrak karya Freeport, pembangunan PLTA, dan pembagian saham. (Baca: KPK Cermati Sidang Kasus Setya Novanto di MKD)
Percakapan dalam rekaman juga melebar. Beberapa nama lain juga disebut, seperti Luhut Pandjaitan dan Darmawan Prasodjo.