JAKARTA, KOMPAS - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, selanjutnya disebut Mendesa PDTT, Marwan Jafar, tidak dapat menyembunyikan kekesalannya yang sudah sampai ubun-ubun.
Hal itu dapat disaksikan pada acara "Solusi dan Guyonan Orang Desa" yang ditayangkan Minggu, 1 November, sekitar pukul 13.00, oleh salah satu TV swasta.
Beberapa kali ia mengimbau keras kepada para bupati/wali kota yang mempersulit pencairan dana desa.
Ia bahkan mengancam menjatuhkan sanksi berupa penundaan penyaluran dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil.
Litani pernyataan keras dengan bumbu ancaman sebenarnya telah berlangsung beberapa bulan, tetapi tampaknya kurang efektif sehingga perlu mengemas rasa geregetan tersebut dalam bentuk drama komedi.
Selain lebih ekspresif dan provokatif, penampilan dapat santai, sehingga pesan mudah dicerna masyarakat dan kepala daerah.
Namun, upaya itu belum menjamin kelancaran pencairan dana desa. Sebab, keru- mitan pengelolaan dana desa bertali-temali antara peraturan tumpang tindih, ego sektoral, dan pertarungan politik kekuasaan.
Isu ego sektoral bersumber dari kerancuan menjabarkan filosofi eksistensi desa yang dibahasakan dalam Penjelasan Umum UU Nomor 16/2014 tentang Desa sebagai persenyawaan antara self governing community–SGC (masyarakat yang mengatur urusannya sendiri) dan local self government–LSG (pemerintahan lokal yang mandiri).
Persoalan semakin kusut setelah terbit Perpres Nomor 11/2015 tentang Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) dan Perpres Nomor 12/2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Kedua perpres tersebut menambah silang sengkarut karena memecah pengelolaan desa oleh dua institusi: (1) menteri yang menyelenggarakan pemerintahan dalam negeri, serta (2) menteri yang menyelenggarakan pembangunan desa, pembangunan kawasan pedesaan, dan pemberdayaan masyarakat desa.