Jika ditelusuri, sejak awal proses penyusunan RUU tentang Desa, aroma politisasinya sangat menyengat. Hal itu terutama berkaitan dengan isu setiap desa akan mendapatkan dana sekitar Rp 1 miliar per tahun.
Rumor segera beredar, partai politik segera membentuk "LSM" jadi-jadian untuk memanfaatkan dana tersebut guna memperkuat jaringan dan basis politik.
Karena itu, timbul spekulasi bahwa dua kementerian yang dipimpin kader partai berbeda merupakan kelanjutan dari pertarungan politik kekuasaan yang merugikan masyarakat desa.
Kerumitan mengelola desa, khususnya dana desa, sebenarnya mudah kalau tidak "diboncengi" oleh kepentingan kekuasaan.
Konflik dan ego sektoral antara Kemdagri dan Kemdesa PDTT seharusnya dapat diselesaikan oleh Presiden.
Namun, karena hasrat interes politik kekuasaan sangat besar, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang harus kompromi dalam menyusun regulasi menjadi tumpang tindih.
Untuk mengurai kekusutan pengelolaan dana desa, politik kepentingan kekuasaan harus ditanggalkan.
Agenda berikut, menata kembali regulasi kebijakan teknis sehingga tidak tumpang tindih.
Jika dana desa tersalur lancar, tugas berat sudah menanti, yaitu melatih hampir 230.000 aparat desa serta menyeleksi sekitar 30.000 pendamping desa yang akan disebar ke 74.093 desa.
J Kristiadi
Peneliti Senior CSIS
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 November 2015, di halaman 15 dengan judul "Rumitnya Mengelola Dana Desa".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.