Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bergeming Setelah Pidato ”Rating”?

Kompas.com - 27/09/2015, 15:00 WIB

Oleh: Effendi Gazali

Jokowi telah membuat sejarah. Baru pertama kali kata ”rating” disebut khusus dalam pidato kenegaraan. Bahkan pada pidato kenegaraan pertamanya di depan MPR.

Dalam kesempatan itu Jokowi antara lain menyatakan, ”Lebih- lebih, saat ini ada kecenderungan semua orang merasa bebas, sebebas-bebasnya, dalam berperilaku dan menyuarakan kepentingan. Keadaan ini menjadi makin kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibanding memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif. Masyarakat mudah terjebak pada ’histeria publik’ dalam merespons suatu persoalan, khususnya menyangkut isu-isu yang berdimensi sensasional.”

Mengapa ”rating”?

Belum seluruh rakyat Indonesia memahami apa itu rating yang dimaksud Presiden. Namun, sebagian besar anggota MPR dan hampir semua insan media akrab dengan rating. Sederhananya, rating dapat berarti pemeringkatan berdasar jumlah khalayak yang diperoleh suatu sajian media. Di sana-sini ia dipertukarkan dengan ”sharing” yang mengacu pada seperberapa bagian jumlah khalayak yang diperoleh itu.

Dari sisi ilmu komunikasi mana pun, rating diperlukan. Ia merupakan pedoman, utamanya bagi pemasang iklan untuk mengekspos produknya ke sebanyak mungkin khalayak. Tentu akan ada segmen-segmen khusus untuk produk yang akan disesuaikan dengan karakteristik khalayak yang terekam dari rating.

Masalah rating sederhananya hanya dua. Pertama, apakah rating diukur dengan benar. Ini persoalan validitas dan reliabilitas. Mahasiswa yang lulus pelajaran statistik seyogianya bisa melakukan evaluasi. Pertanyaannya: konsistenkah rating di Indonesia dievaluasi, atau lebih tepatnya diaudit?

Dalam hal tersebut, sudah puluhan tahun pengguna rating di Indonesia relatif bergeming. Malah isu dialihkan menjadi: kalau tidak suka dengan yang ada, silakan membuat rating lain. Lalu hegemoni kapitalisme mutakhir langsung akan menyerbu. Kalau mau membuat rating lain, haruslah yang setara.

Istilah yang lazim digaungkan ”apple-to-apple”. Belum lagi, mana mungkin melawan mereka. Pengalamannya sudah puluhan tahun. Juga telah beroperasi di puluhan negara. Bahkan memiliki teknologi waktu riil dan alat pencatat berteknologi termutakhir.

Padahal, belum banyak fakta ilmiah yang menyatakan teknologi tertentu yang termutakhir jauh lebih baik dalam mencatat apa itu ”menonton televisi”. Justru rekaman penelitian menunjukkan pemirsa tertidur di depan televisinya. Bahkan kadang hanya hewan peliharaan yang sedang menonton.

Dalam pendekatan yang sangat kualitatif, apa yang terjadi kalau sekelompok orang sedang sepakat memaki-maki sebuah tayangan televisi selama sepuluh menit misalnya? Maka, selama itu—sebelum mereka pindah saluran—mereka tercatat sebagai bagian khalayak yang menonton dalam konteks ”menyukai” tayangan tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com