Oleh: Franz Magnis-Suseno
KOMPAS.com -Lima bulan sesudah pemilihan presiden, tiga bulan sesudah DPR baru mulai berjabat, dan enam minggu sesudah presiden ketujuh Republik Indonesia dilantik, kehidupan politik bangsa Indonesia tetap terganjal.
Terganjal karena DPR pilihan rakyat lumpuh terkunci dalam konfrontasi total antara partai-partai Koalisi Merah Putih (KMP) dan partai-partai Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Padahal, konfrontasi total yang dimulai sesudah Joko Widodo (Jokowi) dipastikan akan menjadi presiden baru sudah mulai mencair. Pimpinan MPR dan DPR, semuanya orang KMP, telah menjamin pelantikan presiden yang mulus. Pendekatan sabar-positif Jokowi ternyata membawa hasil.
Paling mengesankan, orang yang paling berhak merasa tersinggung dengan munculnya Jokowi, yakni Prabowo Subianto, mau bertemu Jokowi, menghadiri pelantikannya, dan, amat tepat, mengatakan bahwa ia akan mendukung pemerintahan Jokowi selama tidak melawan rakyat.
Sesudahnya, beberapa tokoh partai mulai bekerja keras untuk mencairkan konfrontasi total antara KMP dan KIH. Akan tetapi, sekarang proses normalisasi komunikasi macet lagi, macet barangkali karena bermacam-macam kepentingan politik masuk. Namun, kemacetan itu harus diakhiri. Segera. Kalau tidak, demokrasi, bahkan negara kita dalam bahaya.
Belum pernah terjadi
Sejauh saya tahu, konfrontasi total seperti itu belum pernah dialami Indonesia dalam 69 tahun terakhir. Hanya di zaman Demokrasi Terpimpin, ada partai-partai yang dikonfrontasi secara total, lalu disingkirkan dan dilarang, seperti Masyumi dan PSI. Akan tetapi, penolakan total itu berakhir dalam malapetaka ngeri tanpa tanding yang menjadi buntut Gerakan 30 September (G30S).
Bangsa Indonesia bisa saling menerima dalam perbedaan, tetapi kalau hubungan menjadi konfrontatif, apalagi konfrontatif total, daya tampung budayanya terlampaui dan hal-hal mengerikan bisa terjadi.
Konfrontasi KMP dan KIH muncul dari kekecewaan berat partai-partai yang kalah dalam pemilihan presiden—kalah tipis— tetapi justru itulah yang menyakiti. Langkah-langkah yang sangat cepat diambil bermaksud untuk mengunci pemerintahan Jokowi dari semua sudut.
Di DPR (dan MPR) semua kedudukan kunci, termasuk di komisi-komisi, diambil alih, pemilihan gubernur dan bupati oleh rakyat dihapus untuk menjamin bahwa hampir segenap provinsi dan kabupaten dikuasai oleh KMP. Jokowi akan mati kutu karena tidak bisa menentukan anggaran belanja negara dan tidak dapat membuat undang-undang.
Pengalaman Amerika Serikat
Suatu situasi mirip terjadi di Amerika Serikat sesudah pemilihan bulan lalu. Partai Republik sekarang menguasai baik DPR (House of Representatives) maupun Senat. Pemerintahan Barack Obama yang mereka benci lumpuh total karena tidak dapat mengegolkan anggaran belanja negara maupun suatu perundangan. Gawat sekali bagi AS. Diramalkan bahwa selama dua tahun terakhir kepresidenannya, Obama akan menjadi lame duck.
Namun, ada perbedaan. Di AS, konfrontasi antara Obama/Partai Demokrat dan Partai Republik bersifat keras-ideologis. Demokrat menomorsatukan tanggung jawab sosial negara, sedangkan Republik menolaknya all out atas dasar suatu ideologi say no to big government.
Namun, antara KMP dan KIH tak ada pertentangan ideologis sama sekali. Prabowo juga mengatakan bahwa dirinya akan memotong subsidi BBM. Nasionalisme ekonomis dan fokus pada infrastruktur dalam program Jokowi juga sesuai program Prabowo. Dan, meski Prabowo tidak bicara visi maritim dan revolusi mental, di KMP tidak kelihatan ada keberatan (paling-paling mereka mau melihat apakah omongan Jokowi diikuti tindakan nyata).
Kenyataannya, konfrontasi total yang masih melumpuhkan kehidupan politik kita semata-mata berdasarkan rasa kecewa, iri, tersinggung, benci, dan dendam kesumat karena kekalahan yang diderita. Ngeri kalau perpolitikan Indonesia didasarkan pada perasaan-perasaan itu—perasaan-perasaan paling rendah yang bercokol di hati manusia.