Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilkada Tak Langsung, Inkonsistensi DPR

Kompas.com - 14/09/2014, 19:36 WIB
Abba Gabrillin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Pemantau Pemilu (KP2) mengatakan, apabila Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan rancangan undang-undang pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), hal itu menunjukan inkonsistensi partai-partai dalam Koalisi Merah Putih.

Wakil Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jojo Rohi mengatakan, setidaknya ada empat hal yang menunjukan inkonsistensi Koalisi Merah Putih jika RUU Pilkada disahkan.

Pertama, Koalisi Merah Putih di DPR sebelumnya menolak sistem perwakilan dalam tradisi noken di papua. Namun kini koalisi tersebut justru menginginkan sistem perwakilan dalam pemilihan kepala daerah.

Kedua, koalisi tersebut saat ini menyoroti adanya praktik politik uang dalam pilkada langsung. Padahal anggota parlemen tetapi tetap melakukan praktik "dagang sapi". Menurut Jojo, praktik money politic yang sebelumnya terjadi di ruang publik justru timbul dalam ruang privatisasi oleh elit di DPR.

"Urusan money politic, mereka hanya pindah-pindah kamar ke parlemen," kata Jojo.

Ketiga, Koalisi Merah Putih menyatakan pilkada langsung rawan korupsi karena biaya tinggi. Hal tersebut tidak konsisten dengan fakta bahwa lembaga paling korup adalah parlemen, baik pusat maupun daerah. Karena itu, kata Jojo, jika parlemen bisa dibuktikan bukan lagi sebagai lembaga paling korup, mereka baru layak beranggapan pilkada langsung rawan dalam praktek korupsi.

Hal berikutnya yang menunjukan inkonsistensi adalah soal penghematan biaya. Sasaran efisiensi, menurut Jojo, harus dimulai pada penyelenggara negara. Jojo mengatakan, alasan penghematan itu tidak konsisten jika melihat pada tahun 2012, DPR menggunakan dana 8,6 miliar untuk renovasi toilet, dan dana yang cukup besar lainnya untuk merenovasi ruang rapat di parlemen.

Menurut dia, jika dikonversi, biaya proses pilkada langsung masih jauh dari pemborosan yang dilakukan pemerintah, dari pusat sampai daerah. "Tidak fair ketika yang dipangkas adalah hak orang dalam pengambilan keputusan politik penting, sementara pemborosan dinafikan," kata Jojo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Nasional
KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

Nasional
554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

Nasional
Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Nasional
PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

Nasional
KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

Nasional
KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada 'Abuse of Power'

Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada "Abuse of Power"

Nasional
Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com