JAKARTA, KOMPAS.com - Utomo Raharjo (80) terlihat duduk bersama teman-teman anaknya di depan sorotan kamera awak media.
Dia menjadi yang paling tua di meja konferensi pers di Kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2024).
Di sisi kiri pria senja yang akrab disapa Pak Tomo ini duduk Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Jawa Timur, Dandik Katjasungkana.
Pak Tomo memandang sisi kanan, ada Lilik HS yang juga anggota IKOHI sekaligus teman anaknya juga.
Tomo adalah ayah dari Bimo Petrus, korban penghilangan paksa atau penculikan dalam peristiwa reformasi 1998.
Dia duduk sebagai tokoh paling senior bukan karena kemauannya, tetapi karena sisa keluarga para korban penculikan pun sudah tak banyak tersisa.
Baca juga: IKOHI Luncurkan Film Yang Tak Pernah Hilang Mengenang 2 Aktivis 98
Catatan IKOHI, dari 13 aktivis yang diculik, hanya empat korban yang orangtuanya masih hidup, itu pun sudah tak lengkap, ada yang hanya bersisa ibunya, atau ayahnya.
"Saya masih ingat ketika Bimo Petrus meminta restu saya ke Jakarta, ibunya melarang, saya merestui," katanya.
Meskipun Tomo tau, risiko yang akan dihadapi anaknya untuk memperjuangkan demokrasi yang paling ringan adalah bui, sisanya dibunuh atau dihilangkan.
Dia tak menyangka, risiko tertinggi itulah yang dialami anaknya.
Bimo Petrus yang saat itu berusia 24 tahun hilang entah ke mana dihilangkan lewat operasi penculikan yang dilakukan oleh aparat TNI yang tergabung dalam Tim Mawar.
Baca juga: Jejak Para Eks Tim Mawar Penculik Aktivis 98, Kini Jadi Pejabat Penting
Bimo kini telah hilang selama 26 tahun, dan Tomo sudah pasrah dan mengikhlaskan keberadaannya.
Namun, ada satu hal yang sangat ingin dia ungkapkan kepada pelaku penculikan dan ingin dia tanyakan kepada pemerintah, kenapa anaknya harus dihilangkan?
"Kenapa anak saya enggak dibui saja, dipenjara, beberapa tahun enggak apa-apa, tapi saya masih bisa ketemu," katanya.
"Mbok yo nggak usah dipateni (tapi ya jangan dibunuh). Kenapa kok harus dibunuh," tuturnya menggunakan bahasa Jawa logat Jawa Timur.
Mereka yang telah wafat dalam penantian
Tomo mungkin masih bisa terus berbicara sambil berharap pemerintah mampu menjawab pertanyaannya terkait nasib anaknya, Bimo Petrus.
Namun, tidak bagi istrinya, Genoniva Misiati.