JAKARTA, KOMPAS.com - Putusan sela Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, yang mengabulkan eksepsi Hakim Agung Gazalba Saleh dinilai sangat berbahaya bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Gazalba merupakan Hakim Agung yang terjerat kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Eksepsinya dikabulkan hakim Pengadilan Tipikor dengan alasan Jaksa KPK tidak mengantongi pelimpahan kewenangan untuk mengadili Hakim Agung Gazalba dari Jaksa Agung.
“Ini sangat serius dampaknya terhadap eksistensi KPK. Perkara-perkara yang ditangani KPK akan terhenti dengan putusan hakim itu,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat dihubungi, Senin (28/5/2024).
Alex menilai pertimbangan majelis hakim yang menerima eksepsi Gazalba itu ngawur. Menurutnya, jika Direktur Penuntutan KPK harus mengantongi pelimpahan wewenang dari Jaksa Agung maka perkara yang ditangani KPK dalam 20 tahun tidak sah.
Baca juga: ICW Desak KPK Ajukan Banding Usai Hakim Bebaskan Gazalba Saleh di Putusan Sela
Sebab, selama ini Jaksa KPK yang menuntut kasus korupsi di pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan KPK.
Jika pertimbangan majelis hakim itu diamini, pimpinan KPK tidak lagi bisa mengawasi jaksa-jaksanya karena mereka bertanggung jawab ke Jaksa Agung.
“Dengan putusan tersebut, kewenangan penuntutan KPK yang diatur Undang-Undang (KPK) menjadi tidak ada,” ujar Alex.
Alex mengatakan, pimpinan KPK akan mengambil sikap setelah menerima salinan putusan sela yang ganjil tersebut.
Pihaknya juga meminta Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial (KY) turun untuk memeriksa majelis hakim yang dipimpin Fahzal Hendri dengan anggota Rianto Adam Pontoh dan hakim Ad Hoc Sukartono.
Namun, Bawas KPK sebelumnya menyatakan akan menunggu aduan KPK atas dugaan pelanggaran kode etik majelis hakim yang memutus perkara Gazalba. Sementara KY menyatakan akan mendalami persidangan itu.
Mantan hakim Pengadilan Tipikor itu menegaskan, meskipun hakim memiliki kemerdekaan dan independensi dalam memutus perkara, tidak berarti mereka bisa mengabaikan Undang-Undang KPK yang sudah 20 tahun diterima di peradilan.
“Direktur Penuntutan (DIrtut) KPK direkrut lewat proses rekrutmen. Dirtut diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan. SK selaku Dirtut ditandatangani oleh pimpinan. Bukan oleh Jaksa Agung,” kata Alex.
Meski mengkritik keras putusan sela yang dinilai aneh itu, KPK tetap menghormati produk peradilan.
Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri mengatakan, pihaknya masih menunggu salinan putusan itu untuk dipelajari dan dianalisis.
KPK juga melaksanakan perintah dalam putusan sela untuk membebaskan Gazalba dari tahanan.
“Secara teknis untuk sementara terdakwa akan dikeluarkan dari tahanan sesuai perintah majelis hakim dimaksud,” ujar Ali.
Pantauan Kompas.com, pada Senin malam Gazalba melenggang bebas dari Rumah Tahanan (Rutan) KPK pada Gedung Merah Putih. Ia dijemput beberapa pengacaranya.
Terpisah, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah mada (Pukat UGM) Zaenurrohman menilai putusan Majelis Hakim yang dipimpin Fahzal Hendri itu terlalu mengada-ada.
Ia memandang, tidak masuk akal jika Jaksa KPK harus mengantongi pelimpahan kewenangan dari Jaksa Agung.
Zaenur menjelaskan, kewenangan Jaksa KPK menuntut terdakwa korupsi diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, bukan Jaksa Agung.
Baca juga: MA Tunggu Aduan KPK, Usai Meminta Hakim yang Bebaskan Gazalba Saleh Diperiksa
Pasal 6 Huruf e undang-undang itu menyebut KPK bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi.
“Tidak ada satu pun dasar hukum yang mengharuskan Jaksa KPK itu menerima pelimpahan kewenangan dari Jaksa Agung ketika melakukan penuntutan di depan persidangan,” kata Zaenur kepada Kompas.com, Senin.
Zaenur mengaku, Pukat UGM baru mendengar argumentasi hakim yang mengabulkan eksepsi Gazalba.
Sejak didirikan 20 tahun lalu, KPK mengacu pada Undang-Undang KPK, alih-alih instansi lain.
“Bukan dari penegak hukum lain,” tutur Zaenur.
Baca juga: KY Dalami Putusan Hakim yang Bebaskan Gazalba Saleh di Putusan Sela
Meskipun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan menyebut kejaksaan bagian tidak terpisahkan dari penegakan hukum, hal itu tidak membuat Jaksa KPK harus mendapatkan pelimpahan wewenang dari Jaksa Agung.
“Tidak. Karena kewenangan dari Jaksa Penuntut Umum KPK itu sudah diberikan oleh UU KPK,” kata Zaenur.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak KPK segera mengajukan banding atas putusan sela yang membuat Gazalba melenggang bebas.
Peneliti ICW Diky Anandya meminta KPK melawan putusan yang dinilai ganjil itu ke pengadilan tingkat dua.
“ICW mendesak agar KPK segera melakukan perlawanan terhadap putusan sela tersebut dengan mengajukan banding ke pengadilan tinggi,” kata peneliti ICW Diky Anandya kepada Kompas.com, Selasa (28/5/2024).
Diky menyebut, pihaknya juga menilai pertimbangan majelis hakim itu keliru.
Sebab, secara administrasi KPK tidak ada kewajiban bagi Jaksa KPK mengantongi pelimpahan kewenangan dari Jaksa Agung untuk menuntut kasus korupsi.
Pasal 6 Huruf e Undang-Undang KPK Tahun 2019 menyatakan pimpinan KPK sebagai penanggung jawab tugas-tugas pemberantasan korupsi.
“Termasuk Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi,” tutur Diky.
selain itu, KPK dibentuk sebagai lembaga yang menangani korupsi dalam satu atap. Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan bersifat otonom.
Karena itu, lembaga tersebut independen dan tidak bergantung pada kekuasaan maupun pelimpahan kewenangan dari lembaga penegak hukum lain.
Baca juga: Tiga Kali, Hakim Agung Gazalba Saleh Lolos dari Jerat Hukum...
“Maka dari itu, penegakan hukum, termasuk di dalamnya kerja-kerja penuntut umum tidak memerlukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung,” ujar Diky.
Jaksa KPK sebelumnya mendakwa Gazalba menerima gratifikasi dan TPPU senilai Rp 62,8 miliar.
Merespons dakwaan itu, dalam eksepsinya kuasa hukum Gazalba menyebut Jaksa KPK tidak berwenang menuntut kliennya di persidangan.
Sebab, Jaksa KPK tidak mengantongi pelimpahan kewenangan penuntutan dari Jaksa Agung untuk menuntut Gazalba yang berstatus hakim agung.
Argumentasi kuasa hukum Gazalba itu kemudian menjadi pertimbangan Majelis Hakim Tipikor.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Fahzal Hendri menyatakan pihaknya sependapat dengan kuasa hukum Gazalba.
Baca juga: Pertimbangan Hakim Tipikor Kabulkan Eksepsi Gazalba Dinilai Mengada-ada
Adapun ketentuan menuntut Hakim Agung ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI.
“Menyatakan penuntutan dan surat dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima,” kata Hakim Fahzal Hendri, Senin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.