Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

“Dissenting Opinion”, Hakim MK Arief Hidayat Usul Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Kompas.com - 23/04/2024, 11:28 WIB
Fitria Chusna Farisa

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim konstitusi Arief Hidayat menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.

Arief memberikan catatan khusus perihal penyelenggaraan pilpres, di antaranya, mengusulkan pembentukan Undang-undang Lembaga Kepresidenan. Menurut Arief, UU ini penting untuk mengatur tugas pokok dan fungsi Presiden.

“Perlu juga dibuat Undang-undang Lembaga Kepresidenan yang memuat secara rinci dan detail uraian tugas pokok dan fungsi seorang Presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan,” kata Arief dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2024).

Arief menyoroti pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terang-terangan mendukung pasangan calon tertentu pada Pilpres 2024, yakni Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Menurut Arief, semestinya, seluruh cabang kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tak boleh cawe-cawe dan memihak pada proses Pemilu 2024.

Baca juga: Jokowi Bakal Siapkan Proses Transisi Pemerintahan Baru Usai Putusan MK

Sebab, mereka dibatasi oleh paham konstitusionalisme dan dipagari rambu-rambu hukum positif, moral, dan etika.

“Pada titik inilah, pemerintah telah melakukan pelanggaran pemilu secara terstruktur dan sistematis,” ujarnya.

Selain UU Lembaga Kepresidenan, Arief juga mengusulkan pembentukan Mahkamah Etika Nasional. Lembaga ini dinilai penting untuk menangani dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Presiden dalam masa pemilu.

Arief mengatakan, seluruh penyelenggara negara wajib tunduk pada nilai etika luhur yang terdapat dalam Pancasila.

Dia bilang, Pancasila tidak hanya sekadar menjadi cita hukum (rechtside) dalam pembentukan hukum nasional, tetapi juga harus menjadi cita etik (etchisside) yang menjadi rujukan dalam bersikap dan bertindak. Bukan hanya bagi Presiden dan infrastruktur politiknya, tetapi juga seluruh warga negara.

“Pelaksanaan rule of ethics perlu ditegakkan oleh suatu Mahkamah Etika Nasional, sehingga penyimpangan etika dalam penyelenggaraan negara dapat dihindari, khususnya cawe-cawe Presiden dalam pemilu di masa yang akan datang,” katanya.

Lebih lanjut, Arief mengusulkan supaya desain hukum pemilu diubah, khususnya terkait waktu penyelesaian perselisihan hasil pemilu (PHPU).

Menurutnya, waktu penyelesaian PHPU perlu ditambah tidak hanya 14 hari dengan mempertimbangkan ruang lingkup wilayah sengketa yang meliputi wilayah Indonesia.

“Sehingga didapat waktu penyelesaian yang rasional dan proporsional dengan mengingat adanya waktu pemilihan presiden putaran kedua dan waktu jadwal ketatanegaraan pada bulan Oktober,” tutur dia.

Adapun dalam dissenting opinion ini, Arief berpendapat, MK mestinya memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk menggelar pemungutan suara ulang di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com